Duduk bersama dengan Bunda di atas becak, jalan berlubang mengundang tawa. Jalan beriringan dengan Vespa Ayah, membonceng Kakak yang selalu betah.
Masih terbayang dalam ingatan bagaimana Ayah Bunda membawa kami sekeluarga nonton di Bioskop Istana di bilangan jalan sultan Hasanuddin, kota Makassar. Kegiatan disetiap malam minggu bersama keluarga, tidak pernah terlupakan meskipun 40 tahun terlah berselang.
Tidak pernah bosan menonton film Silat Jadul...
Pedang berbunyi nyaring, tubuh melayang-layang, duel maut diantara pendekar sakti dan musuh sombong yang sulit terkalahkan.
Apalagi film silat tahun 70an, yang alur ceritanya sama, pemerannya sama, settingnya sama, tetapi selalu menimbulkan rasa penasaran,
"Minggu depan, film apa lagi yang akan diputar ya?"
Rasa gembira melihat lukisan poster film besar terpampang pada tembok bioskop, yang memperlihatkan gambar para pemeran film yang sedang berpose laga... Haitzzz... Hitssss... Haiyaaa....
Tidak ada informasi judul film, hanya nama pemeran utama dalam aksara ABC. Film yang diimpor dari Hong Kong pada jaman itu, tidak lazim menggunakan judul dalam Bahasa Inggris. Sementara, aksara China dilarang terpampang didepan umum.
Ayah tidak pernah membeli tiket pada loket. Kami sudah memiliki seorang calo langganan bernama Daeng Kama, yang selalu menyimpan kursi bagus untuk kami berempat.
Ayah sudah dikenal sebagai langganan utama dari Daeng Kama, sehingga jika beliau berhalangan, maka ayah cukup mengambil tiketnya yang dititip pada pegawai bioskop.
Suasana didalam ruang bioskop-pun tidak kalah serunya. Kursi kayu dengan alas rotan berderet dengan bau yang khas, selalu menjadi tempat yang dirindukan. Meskipun Bunda sering ngomel jika yang duduk disampingnya sedang merokok.