Dunia kapitalis, kamu harus jadi kapitalis juga supaya bisa survive. Sebaliknya jadi buruh/pekerja dibawah kapitalisme. Harus mampu menjadi penyedia jasa (provider) yang baik. Artinya kapanpun dan bagiamanapun harus siap dan mampu bekerja dengan tepat dan cepat.
Bukan eranya pekerja atau buruh minim produktivitas tanpa dosa leha-leha ngulur waktu tanpa berpikir anggaran pekerjaan di abad ke-21 ini. Kerja bebannya tambah dikit ngeluh bayarannya minta naik. Dan lain sebagainya.
Memang benar manusia bukan robot yang tak punya rasa capek, tapi kedepan buruh/pekerja harus bersaing dengan robot dan sistem internet.
Di indonesia yang mana sebagain buruh atau pekerjanya kontra pada produktivitas seperti manajemen waktu kerja yang kurang optimal. Sudah harus menjadi peringatan bahwa mereka akan kalah bersaing itu menjadi sebuah kepastian.
Terbukti, mengapa proyek-proyek investasi Tiongkok lebih memilih memakai buruh atau pekerja mereka sendiri di indonesia? Bukan masalah rasis atau lainnya. Entitas bisnis tak mengenal sara. Tentu pekerja buruh/pekerja tiongkok mereka lebih disiplin waktu.
Seperti contoh proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dengan rincinan awal anggaran pembangunannya sekitar Rp. 86,5 T bengkak jadi sekitar Rp. 114 T.
Kenapa itu semua dapat terjadi? Jawabanya adalah produktivitas pekerja di indonesia yang kurang dalam menejemen waktu kerja menyelsaikan pekerjaan mengakibatkan adanya pembengkakan anggaran untuk pekerjaan tertentu.
Banyak hal dari masalah pembebasan lahan hingga ketersediaan listrik, dan juga produktivitas pekerja yajg tak efisien jika bicara dalam konteks proyek kereta cepat.
Sekali lagi menjadi buruh yang pro pada produktivitas waktu merupakan kunci dapat survive menjadi buruh/pekerja di abad ke-21.
Tanpa itu, sudah dapat dipastikan akan kalah bersaing bahkan tidak hanya sesama buruh namun pengangguran tanpa skil. Sebab kedepan dengan kecanggihan teknologi. Memungkinan buruh dipakai tenaganya hanya dalam pekerjaan kasar saja.