Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Jodoh dan Ironi Keminderan

Diperbarui: 18 Juli 2022   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Seperti ingin merubah pola itu, terkadang dalam bayang ini begitu sangat bercabang. Ya, saya memang harus menentukan mulai dari sekarang. Usia yang semakin tua ini, haruslah tetap pada jalur yang sama, tetap harus bersama merajut asa pada saatnya yakni membangun rumah tangga.

Laron berterbangan bebas sangat menggoda saya dimalam itu. Dibuat seolah saya ingin mendramakan hidup saya sendiri, yang terkadang selalu membanding-bandingka diri tanpa ampun pada diri-diri yang lain.

"Ya memang itu bukan sesuatu yang bagus; setiap oraang punya start masing-masing dan dimulai dari mana hidupnya itu. Penting, kita hidup mempunyai progress yang jelas, bukan semakin mendem tetapi harus lebih baik dari sebelumnya; tentu dalam segi apapun".

Namun saya akui sang mider itu, mencoba ingin merajut bersama bayang-bayang kehidupan ini. Apa daya pikiran akan rasionalisasi dan tidakan ini tidak sampai mentok hanya pada angan dan impian semata, tetapi juga pada sesuatu yang membangunkan seperti jejak percaya pada diri jika dihadapkan pada sesuatu yang lebih dari dari diri ini.

Karena pada akhirnya. Ketika saya jujur pada yang lain tentang sebuah keluh kesah; motivasi hebat pasti terdengar dari kelakar bibir-bibir yang lain. Tetapi di dengar rasanya sangat hambar lalu menjengkelkan.

 "Berupaya jangan pernah takut, sebelum tua harus berkeluarga, dan ungkapan-ungkapan lainnya merongrong dalam lamunan saya; itu sama saja seperti setiap orang tua yang bertanya-tanya kapan pernikahan itu akan dilangsungkan oleh anaknya, kehalang apa rasanya susah jodonya itu datang, dikira ada kekuatan lain yang absrud".

Memang saya juga menginginkan pernikahan itu. Akan tetapi tidak bolehkah diri mengukir dirinya sendiri dengan sejumlah resiko dan konsekwensi, yang mana pemenuhan atas kebutuhan sendiri pun harus dibangun untuk dapat lebih, kemudian untuk bekal saku berkeluarga nanti?

Hasrat ini memang menggebu, saya pun juga ingin merajut hidup barsama sebagai yang termotivasi itu dengan keberuntungan yang ditawarkan, setidaknya meski itu hanya terpentok pada teori. 

"Nikahlah nanti pasti rezeki menyusul, yang miskin akan dikayakan" tetapi apakah itu tidak perlu kritis dalam merangkai sebuah jawaban yang tidak pasti akan pertanyaan itu? Banyak orang berkata di luar sana, hidup bersama sangatlah indah untuk di jalankan". Sekptis dan cenderung tidak mempercayai itu. 

Mungkin menjadi maklum bagi manusia biasa-biasa ini, yang sudah membaca bagaimana perceraian disana pun jumlahnya berjubel banyaknya. Apakah itu bisa dijadikan dasar bahwa hidup bersama selalu indah?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline