Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Musik Itu Tanda: Mengejar Cinta sampai Setengah Matipun Buat Apa!

Diperbarui: 20 September 2021   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi:kompas.com

Terdengar bagiamana lagu-lagu cinta itu memantik alam imajinasi manusia yang liar untuk diselami. Dari banyak sederet lagu romatic Grup Band atau penyanyi Indonesia, terus terang itu bukan selera lirik dan music favorite saya.

Entah mengapa, saya bukan tidak menyukai kualitas mereka. Saya kira kualitas dari music dan penyanyi yakni terbentuk secara universal. Tidak mebeda-bedakan latar belakang Negara maju atau berkembang dalam music atau sejenisnya yang berkaitan dengan seni lain-lainnya.

"Kenapa saya menyukai music asing dari pada Indonesia sendiri tentu yang utama karena perbedaan Bahasa. Dengan saya tidak tahu Bahasa dalam lirik lagu tersebut yakni lirik lagu yang berbahasa asing, emosi saya tidak akan tersentuh praktis karena saya tidak mengerti lagu tersebut".

Tetapi ya namanya music, memang dapat saja diselami apapun jenisnya, baik itu masik yang romatic maupun music cadas, yang gunannya untuk mendobrak kebiasaan pendengarnya. Maka dari itu ketika kita hanya mengerti Bahasa music. Kelebihannya adalah emosi kita dapat diukur bagaimana mengntrolnya atas kehendak kita sendiri jika terprovokasi oleh music yang tidak kita kehendaki.

Namun berbeda ketika saya paham lirik lagunya. Emosi kadang tak disadari terbawa dan itulah yang bahaya menurut saya. Perasaan kita kadang dapat tersentuh "roler coster" dari lirik lagu tersebut. Ditambah lirik lagu itu adalah bahasa orang galau, orang sakit hati, dan orang ngarep pada cinta yang lahir dari ilusinya sendiri. Rasanya gak bangt lagu-lagu seperti itu untuk dikonsumsi!

Itulah mengapa lagu-lagu semi koplo berbahasa Jawa, dimana lirik lagunya banyak menjual perasaan romansa mereka yang terus didramatisir dengan goyang-goyang, yang terlihat dan terdengar umum seperti kata sayang, cinta, move on dan berserta anak tetek bengeknya.

Justru itu yang menjadi hambatan bagi jiwa-jiwa dan pemikiran seseorang untuk bertumbuh, dimana hanya perasaan emosi akan romansa yang disetuh bukan pada emosi-emosi lain. Tentu bagaiamana memaksimalkan diri dengan berbagai potensi social yang ada untuk dioptimalisasi bukan hanya cinta saja sebab hidup manusia ini bukan hanya masalah cinta.

Lagu pop Indonesia juga demikian yang dengan lirik dan music semakin syahdu bercampur music akustik, yang terkadang diambyar-ambayrkan berharap popularitanya sama seperti penyanyi legend Indonesia yakni Didi Kempot, yang namanya masyur itu untuk kaum ambyar.

Semua itu bagi saya adalah hal yang dalam menikmati bermusik dan berlirik lagu menjadi sesuatu yang paling buruk untuk didengarkan. Bagiamana tidak paling buruk, terkadang saya ikut galau ketika tidak sengaja mendengarkan lagu-lagu itu emosi terbawa pada cinta yang begitulah. Menurut Cu Patkay, "Cinta Deritanya Tiada Akhir".

Ditambah warna music saat ini  juga terasa agak aneh. Dimana lirik lagu bernuansa Jawa tetapi seperti lagu nasional, yang agak dikoplo-koplokan itu dengan drama cinta yang menurut saya dangkal.

Terus terang saya sedikit agak gedeg jika tidak sengaja dengar lagu-lagu cengeng bernuansa romantic seperti itu. Bagaimana mau bangkit ketika galau terus didramatisir begitu, meski yang menyanyikan lagu tersebut adalah penyanyi papan atas dan bukan kaleng-kaleng di tatar nasional. Lagu galau yang menusuk sampai emosi yang menjadi lemah, harusnya tidak patut kita konsumsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline