Dijaman yang serba sulit ini dengan resminya Indonesia masuk zona "resesi" ekonomi seperti yang disampaikan oleh Sri Mulyani Mentri Keuangan.
Bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 yang diperkirakan minus 2,9 persen - minus 1,0 persen, jelas dampaknya akan sangat luar biasa bagi masyarakat Indonesia.
Untuk itu saat ini semua lapisan masyarakat terdampak bagiamana terpuruknya ekonomi termasuk para petani.
Usia omnibus law UU Cipta Kerja di sahkan yang menggalaukan buruh, petani juga saat ini menjerit dengan harga pupuk yang mahal naik hampir 250% tingkat eceran di kabupaten Cilacap.
Di pingiran Kabupaten Cilacap tempat saya tinggal saat ini memang sedang memasuki masa tanam. Dimana kebutuhan pupuk belum begitu butuh dalam jumlah pasokan besar.
Tetapi saat bapak saya yang kebetulan membeli pupuk "urea" Sabtu, (24/10) untuk kebutuhan benih padi, 5 Kg pupuk seharga Rp. 35.000.
Tentu dengan harga 5 Kg Rp. 35.000, yang sebelumnya 50 Kg saja Rp. 100.000, berarti saat ini 50 Kg pupuk seharga 350.000 Kg.
Mendengar harga pupuk naik, saya memang sebelumnya sudah mendengar disampaiakan oleh bapak saya yang berprofesi sebagai petani umumnya masyarakat desa.
Pengecer pupuk atau distributor pupuk yang ada di desa saya menyampikan kepada bapak saya bahwa tidak ada lagi subsidi nanti dari pemerintah.
Jika mau subsidi harus membuat kartu tani, itulah yang disampaikan bapak saya ke saya. Karena meminta saya untuk membuatkan kartu tani atas himbauan dari distributor pupuk, bapak saya kuwatir pupuk akan harganya mahal.
Bukan apa bapak saya sendiri adalah petani penggarap yang sama sekali tidak punya kepemilikan lahan sawah. Tetapi dapat menggarap sawah dengan cara kontrak lahan maupun gade lahan sawah.