Setiap jalannya periode pemerintahan Negara akan selalu ada undang-undang baru yang diciptakan, itu sesuatu yang sudah wajar dilakukan.
Maka tidak salah jika pemerintahan Jokowi membuat suatu undang-undang baru Omnibus Law UU cipta kerja untuk kebijakan dunia usaha dimasa pemerintahannya.
Dalam setiap kebijakan pemerintahan memang tidak akan lepas dari adanya yang dirugikan dan ada yang diuntungkan, itu sudah menjadi kenyataan didalam jalanya kebijakan untuk masyarakat sebagai warga Negara.
Tentu dengan kebijakan yang baru-baru ini akan dirasakan elemen masyarakat pekerja yakni para buruh. Kebijakan itu adalah UU Cipta Kerja yang telah di sahkan oleh DPR, Senin (05/10), dimana banyak pihak mencap DPR bekerja mensahkan UU Cipta Kerja tersebut dinilai senyap, tidak berpihak pada masyarakat pekerja.
Apakah undang-undang tersebut memang tidak layak di buat oleh pemerintah, yang pada akhirnya banyak masyarakat khususnya elemen pekerja (buruh) yang dirugikan?
Sebab sebelumnya rancangan UU Cipta Kerja sendiri menjadi polemik khususnya kontra dari kaum buruh, yang sudah dipastikan hak-hak sebagai buruh akan disunat oleh adanya UU cipta kerja tersebut.
Antara lain UU Cipta Kerja di era pemerintahan Jokowi dinilai merugikan pekerja "buruh" antara lain kebijakan berikut ini;
"Upah minimum yang flexibel, memangkas jumlah pesangon, penghapusan cuti atau izin khusus, outsourcing semakin tidak jelas nasibnya, dan memberikan kesempatan pengusaha mengontrak pekerja tanpa batas waktu".
Disisi lain sebenarnya dalam hal ini UU Cipta Kerja Negara juga dirugikan dengan adanya RUU cipta kerja di masa Pemerintah Jokowi.
Negara turut juga mensubsidi jaminan ketenagaakerjaan pekerja dan membayar sisa upah pesangon buruh, yang disepakati 32 kali gaji dan pengusaha hanya bayar 23 kali gaji sisanya pemerintah setelah di sahkannya UU Cipta Kerja.
Mungkinkah UU Cipta Kerja akan sama merugikan sama seperti seperti sistem Outsourcing yang dulu dilakukan dan di sahkan oleh pemerintah Megawati terhadap buruh?