Terkait siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa G 30 S, saya sebagai generasi muda tentu sudah tidak mau membahasnya lagi perkara siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa itu.
Sejarah yang dikait-kaitakan dengan jalannya politik saat ini memang sangat membosankan, seakan memukul lawan politik dengan sebutan PKI lebih renyah dari pada beradu gagasan politik di Indonesia.
Gagasan dinegara yang membangun politik tanpa logika memang mahal harganya. Sudah pasti jalannya politik mengkaitkan isu-isu "Sara" dan kenistaan kemanusiaan sebagai jualan politiknya.
Maka dari itu saya kira sejarah hanya akan menjadi dongeng dikala memang sejarah itu sudah terlewati. Untuk itu wacana pengahapusan sejarah dari pendidikan di Indonesia merupakan upaya pengahapusan dongeng nyata yang problematis dan hanya mengorek luka lama.
Dilupakan sayang tidak dilupakan menjadi beban masa lalu, begitu pun narasi G 30 S yang seperti sudah menjadi proyek politik dari masa ke masa sebagai bangunan wacana besar politik Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya memang tidak mau condong pada salah satu pihak mendukung yang bersetru pada konflik G 30 S. Apa lagi menerapkan dalam ide kehidupan sehari-hari paham-paham ideologis yang berseteru tersebut.
Semua ideologi itu menurut saya sudah usang dan dalam memandang sebuah ide-ide politik sudah harus mampu bergerak maju kedepan bersama dengan tantangan jaman, pendapat saya sebagai generasi muda.
Mengapa saya sebut sejarah "ideology" termasuk kronik G 30 S itu usang. Karena semua pihak yang frontal dalam berpolitik saat itu adalah proyek-proyek mencapai kekuasaan golongan. Dimana simpati rakyat hanyalah alat legitimasi meraih kekuasaaan.
Tentu tidak hanya dijaman dulu, saat ini juga sama seperti itu. Dalam proyek kekuasaan yang menjadi jembatannya adalah rakyat. Hanya saja bungkus dari legitimasi rakyat saat ini bukanlah gagasan melainkan modal dalam berpolitik membeli suara rakyat.
"Jika dulu untuk meraih simpati rakyat dengan tawaran ideologis akan hadirnya keadilan "sama rata sama rasa", kini siapa yang membagi uang rata kepada pemilih disitulah ia dapat berkuasa".
Kini dengan narasi ideologis tersebut "komunisme" atau dengan ideology "militerisme" sebagai pihak yang ikut juga dalam kronik G 30 S tersebut yang terjadi di Indonesia. Wujud Negara "militerisme" dalam idenya sendiri menginginkan semua orang harus patuh pada kekuasaan yang totaliter.