Dalam bayang pagi bersimpuh lirih suara hati. Bayang-bayang angan ini selalu saja menjadi lusuh bagai Burung Bangau disana yang sedang mengais Ikan ditepian kali. Tetapi lagi-laki aku harus menyadari mataku pagi ini telah memerah akibat terlalu lama memandangi smart phoneku yang lusuh itu membaca berbagai berita yang ada di media.
Memang dalam bidang kepenulisan. Aku harus mengambil jarak pada apa yang dinamakan umum. Gaya-gaya penulis-penulis seperti editor seperti telah mengendap jauh dalam khayalanku. Bidangku adalah menulis "sastra" dimana aku bebas berexpresi sesuai dengan passionku ini. Merangkai segenap kata kebebasan yang terkadang metafora didalammnya sebagai suara dalam seni yang indah dan mengaburkan pembaca.
Keheningan pagi membawa aku pada setiap bayang-bayang, siapakah pendosa--- siapakah pahlawan dalam kebajikan itu sejauh media social memandang segenap dunia baru ini? Pagi yang telah hancur dalam hidupku. Tidak lebih aku setiap pagi hanya memandangi media sosialku yang membingungkan itu. Kumpulan berbagai fenomena ganjil mutkahir dari masyrakat, bangsa, dan Negara.
Negaraku "Indonesia" yang berulang tahun ke-75 tahun sama seperti diriku yang lahir dan tumbuh sebagai sebuah pro kontra menjadi manusia. Tentu sebagai diri--- aku tidak menganggap ini sebagai interpretasi pribadi. Tetapi bayang-bayang dari seorang manusia, yang terkadang dalam eksistensinya sendiri sangat kontradiktif.
Keriuhan media social terkadang aku memandangnya seperti mereka-mereka yang gila akan pengakuan. Mengapa dalam bayang ini, selalu saja apa yang dianggap ada, selalu saja "ada" pada sikap kita "manusia" dalam menyuarakan sesuatu ; entah itu di media social kita?
Namun dalam bayang-bayang menyuarakan sesuatu: mereka, kita, dan juga Anda, tidak ada yang benar-benar bebas berbicara seperti di pos ronda depan rumahku. Hujatan pada sesuatu yang salah adalah hal biasa. Bahkan kebenaran pun dapat saja terhujat bahwa; semua juga ingin berbicara untuk diakui benar atau salah dirinya untuk dianggap ada.
Seperti yang akhir-akhir ini ramai dimedia social itu tempat orang-orang yang sempit memandang hidup. Mengapa sempit? Seharusnya media social bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan banyak orang apalagi ranah hukum terkecuali merugikan harta benda atau nyawa seseorang dalam berpendapat. Sebab dalam wacana berpikir dan berinteraksi orang-orang pengguna media sosial hanyalah bersosial dengan dirinya sendiri.
Orang-orang yang berbicara di media social nyatanya adalah tentang hal-hal apa yang sedang dialaminya sendiri. Itulah terkadang dengan ketidak puasan diri selalu saja menjadi daya-daya suara yang harus didengar semua orang untuk ada. Tidak peduli seberapa keras atau lembeknya, tetapi semua manusia mencari eksistensi untuk diakui bawasannya dirinya ada saat memulai sebuah opini.
Tentang apa yang dilakukan sebagai opini oleh Jerinx drummer Superman Is Dead (SID) itu bersuara lantang dimedia sosialnya. Bawasanya IDI (Ikatan Dokter Indoensia) adalah kacung WHO oraganiasi kesehatan dunia adalah kebenaran penafsiranya.
Tentu apa yang ingin Jerinx sampaikan itu sebagai sebuah "keyaakinan" adalah bentuk ketidak puasan diri terhadap apa yang sedang melanda dirinya sendiri. Serta anggapan bawasanya opini public yang sama harus ditampung melawan--- apa-apa bentuk yang mungkin tidak nyata "fiktif" seperti virus corona yang janggal sebagai sebuah pandemic menurutnya.
Terkesan hanya akal-akalan dari sebuah teori konspirasi elite-elite dunia mengancurkan ekonomi di satu sisi--- menguntungkan ekonomi disisi lain. Tetapi apakah dari sebuah media social itu dapat dipandang sebagai sebuah kebenaran hukum? Jikalau hanya apa yang disampaikan adalah suara pribadi yang tidak boleh dikekang itu--- sebagai sebuah kebebasan dalam mengemukakan pendapat tumpuan utama demokrasi?