Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Ilusi Keadilan dan Kontradikasi

Diperbarui: 14 Agustus 2020   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: thecolumnist.id

Bagi manusia pemikir berat, segala sesuatunya memang harus untuk ditulis. Karena setiap apa yang menjadi kegelisahan dalam pikirannya, ia bukan saja tidak punya lawan bicara yang mengerti dirinya, tetapi untuk dimengerti ia harus terus berdialog dengan dirinya sendiri lewat tulisan.

Pikiran yang cara berpikirnya terlalu rumit dan kompleks. Hanya dengan menulis, ia dapat dimengerti oleh manusia lain. Tetapi tentang manusia itu, tetap hanya dirinya sendiri yang paling mengerti dirinya, lewat tulisan yang terus dibacanya sendiri.

Namun beberapa tahun yang lalu ketidak puasan dalam menjadi manusia yang diharapkan seperti telah menemui bom waktu. Dalam kerumunan kerja sama, kecurigaan satu dengan lainnya memang menjadi dasar penafsiran yang utama bagi yang sama-sama bekerja untuk saling membenarkan dirinya sendiri.

Pada dasanya semua urusan dalam kebersamaan itu harus menjadi jalan yang menyenangkan, tetapi apakah ada keadilan didalam semua jenis kerumunan termasuk ruang kerja sama?

Tentu keadilan dari sikap semua manusia hanyalah ilusi besar belaka. Tidak ada yang benar-benar bersikap adil jika manusia masih dalam tubuh manusia yang sama. Ia masih berkepentingan, mengamankan posisi, dan tidak mau dirugikan atas dasar posisi dirinya yang telah mapan.

Tetapi jika dirasa dengan kesadaran intelektulitas yang sepadan. Semua adalah tentang bagimana kepentingan mereka tidak terancam. Apalagi dengan kepentingan itu, mereka "manusia" hidup enak menikmati apa yang telah dinikmatinya sebagai nasib yang jarang ditemui oleh manusia lain. Dan itu merupakan kewajiban untuk dipertahankan sebagai daya tawar hidup yang terjamin dalam ningkai kesejahteraan.

"Menjadi manusia memang harus begitu, jika memang ia dapat sejahtera disuatu tempat, menjaga terus tempatnya sebagai ladang kesejahteraan adalah hal yang harus menjadi kepastian. Tidaklah usah berpikir-pikir lagi, bahkan siapapun yang sekiranya mengancam lahan itu, sikat mutlak dilakukan. Karena dasarnya dalam kehidupan, semua manusia berkepentingan untuk saling sikat antara manusia satu dengan lainnya".

Memang bukan seberapa banyak manusia bersyukur, bukan seberapa dekat pula manusia bersama Tuhan-tuhan menurut konsep dalam setiap tafsir-tafsirnnya sendiri. Ketika manusia hidup dengan manusia, disanalah kau harus menyadari kemanusiaan itu bersama dengan kehendak akan kuasa yang secara alamiah manusia punya.

Namun dalam kesaadaran akan intelektualitas yang manusia harus gali untuk pembelajaran dirinya, bukankah kemanusiaan masih lebih penting dari pada mencidrainya? Inilah dalam filsafat jawa diperkenankan suatu cara yang arif dan bijaksana bahwa; "untuk menang haruslah diraih secara kesatria, tanpa memakan korban dan pertumpahan darah dan nyawa; bahkan tidak mempermalukan lawan. Begitulah sikap dari keluhuran kesatria yang sejati".

Menjadi manusia memang kompleks, ia bukan saja punya rasa yang selalu ingin berkuasa, tetapi ingin pula menjadi kekuasaan mutlak tanpa ada penolakan dalam kebereartiannya sebagai yang telah mempunyai kuasa.

Untuk itu, memaknai keadilan seperti tidak akan pernah terwujudkan didalam suatu kenyataan kehidupan dunia kapan pun abad-nya. Mungkin adanya ketidakadilan bagi manusia, ia bukan saja akan menambah sebuah penderitaan, lebih dari itu yakni; kesengsaraan tiada akhir bagi dirinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline