Tidak ada hari yang asyik untuk dinikmati dikala alam fiksi dari pikirian ini begitu rumit. Andai saja manusia hidup tidak bersama dengan pikiranya, mungkin saya adalah orang yang paling bisa berjanji untuk selalu ikhlas dalam melakukan sesuatu bagi orang lain dalam misi suatu gerak hidup dalam kebersamaan.
Tetapi apakah keihklasan yang digembor-gemborkan pada suatu keilmuan itu benar-benar ada? Atau hanya alam pikir yang memenuhi optimisme orang-orang yang sedang ada dalam pergerakan saja? Mungkinkah ihklas hanya hayal, dimana ikhlas sendiri merupakan hasil itu sendiri, yang menjadi ikhlas ketika ada dampak yang dirasa oleh manusia untuk kehidupannya?
Kesangsian seperti telah menjadi sebab dari adanyanya sebuah penistaan yang secara kasat mata jelas dapat dirasa dari adanya misi suci yakni rasa ikhlas itu sendiri.
Bawasannya segala sesuatu yang berbentuk alat, ia haruslah digunakan, kemudian dirawat, dan dilayani sebaik mungkin agar alat itu dapat terus digunakan memberi efek yang baik terhadap penggunannya.
Dari sanalah manusia harus mengetahui bawasannya peran penting sebuah keikhlasan ada pada rasa setiap orang untuk saling menghargai dan saling merasa bahwa segenap perjuangan hidup jika mempunyai tujuan yang sama, rasa toleran, saling menjaga satu sama lain, dan menikmati hasil secara berkelanjutan harus benar-benar ada dalam pemikiran setiap manusia dilaksanakan juga bersama-sama.
Tetapi faktor milik atau faktor manusia merasa selalu kurang dan egoismenya sendiri bahwa dirinya yang paling baik, paling lelah, dan paling berpengaruh, kemudian serakah tanpa merasa yang lain juga wajib menerima haknya dari hasil kerja kerasnya bersama, itulah yang menjadi dasar orang lain tidak mau sama-sama ikhlas melakukannya.
Kata "ikhlas" selama manusia masih menggunakan pikiranya, tidak mungkin keikhalasan itu ada seperti kemurniaan tanpa berpikir. Jelas disini bawasannya menjadi ikhlas itu sendiri adalah kemampuan untuk menghentikan pikiran, bagaimana menanggapi sesuatu tidak dihitung antar untung dan rugi seorang manusia dalam menuai hasil yang dilakukan sebagai bentuk usahanya.
Karena selama pikiran itu diaktifkan, ia akan terus memilih mana yang paling baik untuk dirinya dan mana yang akan membuat dirinya hanya akan merasakan sengsara.
Oleh sebab itu pikiran jika selamanya dibuat untuk berpikir, ia akan tahu mana-mana sisi yang sebelumnya tidak tersadari, menambal apa yang kurang menjadi lebih, buruk menjadi baik, serta teledor menjadi waspada.
Manusia bukan dewa, manusia hanya akan menjadi manusia saja tidak akan pernah lebih dari itu, kenyataannya juga memang tidak pernah seperti itu. Namun dalam berpikiran, fiksi pikiran manusia selalu melampaui dewa. Inilah yang terkadang sisi dari menjadi manusia itu selalu saja terbentur ranah yang sempurna dibalik adanya ketidak sempurnaan dari dirinya dan orang lain yang ada disekitarnya.
Maka yang menjadi sandungan penting dalam mempunyai sikap "ikhlas" itu sendiri adalah persepsi yang dibuat oleh pikirannya sendiri. Tetapi mengapa pemikiran itu tumbuh membuat suatu persepsi tersebut? Tidak lain muara dari tumbuhnya suatu persepsi dari satu manusia itu adalah bagaimana manusia lain juga menerapkan segala persepsinya masing-masing yakni; antara bisa dan tidak bisa, kemudian menjadi kenyataan atau tidak dalam melakukan: "apa yang mereka sedang lakukan bentuk dari usahanya masing-masing".