Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Sumbanglah Buku ke Perpustakaan

Diperbarui: 14 Januari 2020   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: dokpri

Wajah saya begitu pesimis, saya tidak begitu mengerti mengapa cetakan buku tersebut seperti buku gambar. Tetapi kecewa bukanlah obat, sesuatu yang sudah terlanjur memang, biarlah pergi dari pikiran ini, tidak ada arti juga meratapi rasa kecewa tersebut. Nyatanya semua memang harus bergerak maju "biarkan semua berlalu".

Saya rasa hidup manusia harus merasakan kecewa. Suapaya manusia tahu bagaimana rasa kecewa itu ada, dan manusia harus terus belajar dengan kekecewaan yang menimpanya sendiri. Percaya bahwa: rasa kecewa selalu datang tetapi  sementara.

Buku bertebal sekitar 450-an halaman lebih dengan kertas A4 itu, merupakan buku pertama saya berjudul "Interpretasi Aku". Bertahun-tahun lalu saya tulis, waktu itu, saya ingat saya mulai menulis sekitar tahun 2016 yang lalu, terkumpul-terkumpul lalu saya jadikan buku.

Saya menulis karena saya kecewa terhadap diri saya sendiri. Mengapa sesuatu yang saya kejar sebagai mimpi tersebut dengan melanjutkan kuliah berharap karir lebih baik, karena terlalu banyak berpikir, terlalu banyak menimbang, akhirnya diputuskan juga oleh pemikiran saya sendiri untuk berhenti.

Saya mengakhiri kuliah sebelum ujian sidang, alasannya kuliah tidak akan pernah merubah nasib saya, waktu itu saya punya pertimbangan sendiri, keyakinan saya, hidup saya berubah ketika saya menjadi penulis. Kecenderungan seperti pemikir menjadi sebab, hidup saya hanya dapat seimbang dengan terus menulis. Kesimbangan hidup adalah sebuah kebutuhan yang layak dirasakan manusia.

Terus terang saya kecewa dengan kecenderungan saya yang lebih condong kepada lebel manusia pemikir. Mengapa saya tidak bisa seperti mereka, ya tidak terlalu pemikir sebagai manusia? Tetapi diri manusia membawa dirinya sendiri. Meskipun ini adalah nyatanya dari kekecewaan itu. Kegagalan dan rasa menganggap diri ini gagal. Sesuatu yang tidak dapat diperbaiki selain mengikuti tradisi kegagalan itu dan menjadi diri saya sendiri.

Saya waktu itu mengikuti langkah kaki pergi, mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya mumpung saya masih muda. Pergi dan bekerja sampai ke Pulau Bali, dimana saya menyaksikan bagaimana kebudayaan dan kesenian yang begitu hidup dimasyarakat Bali.

Agama dan masyarakat yang harmonis, bau dupa yang mempengaruhi energi tubuh dan pikiran, juga bunga-bunga indah seperti kamboja yang sedap nian dilihat oleh mata. Sering saya petik bunga itu, lalu saya letakan pada telinga kanan saya, jiwa-jiwa seni, saya seperti seniman yang mencintai bunga-bunga. Saya juga sering bertanya-tanya apakah saya ini memang benar-benar seorang seniman?
 
Buku yang saya tulis ini masih keluarga dengan karangan-karangan memoar, karena sebagain besar isi buku itu merupakan penafsiran-penafsiran saya sendiri terhadap sesuatu yang menjadi pengalaman saya. Saya berbicara tentang romantisme, kontradiksi diri, Tuhan, bahkan masyarakat abad 21 yang seperti ganjil memandang hidup.

Mungkin jika merujuk karya: manusia satu dimensi milik " Habert Marcuse" relevan dengan abad 21 ini, bawasannya kebanyakan manusia saat ini memang lahir, kerja, dan cari uang, lalu menikah, berharap uang pensiun saat tua, tidak ada lagi pikiran lebih baik dari itu, karenanya saya tergoda----tergoda untuk sama-sama juga melakukannya. Tetapi saya tidak bisa melakukan apa yang tidak saya mau dan sama sekali tidak membuat saya bahagia.

Kebahagaiaan apakah mereka-mereka yang sedang bercumbu ria dengan pacarnya? Ataukah dengan mereka yang bangga akan harta yang dipunyainya? Namun menjadi manusia, kebanggan memang perlu ia raih, perlu juga ia kejar, dan perlu juga untuk dipamerkan. Karena betapa indahnya kisah hidup kita, yang bersama-sama dengan mereka, untuk saling membagi kepunyaan dari masing-masingnya.

Saya bukan meratapi nasib, bukan untuk mengurung diri pada akhirnya, lalu mengapa keindahan dari karya-karya sebagai penulis, ia harus hidup soliter, seperti saya yang memikirkan banyak hal. Lalu dengan mereka-mereka yang mungkin enggan menyapa, dalam diam itu, seorang penulis murni akan meratapi dirinya yang malang. Yang tidak bertuah seperti para "Atheis" yang dicurigai habis dinegara paling beragama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline