Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Sesat Berpikir Manusia yang Membudaya

Diperbarui: 25 Juni 2019   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi diambil dari news.detik.com

Apa yang akan habis dan tidak pernah habis dari manusia? Seperti rasa yang tidak pernah nyaman pada akhirnya. Dia merebak dengan suka rela bahwa; masih adakah celah tidak berpikir dengan perut ini? Memang terkesan tidak menjadi enak, namun dedikasi hidup lebih penting dari pada akan sakit perut setiap hari sepanjang hidup ini.

Alarm jam di sana, membuat suatu bukti, mengapa malam ini tidak aku cukupkan saja pada kualitas tidur yang membaik? Ah seperti kicau burung yang akan berbunyi pagi nanti. Dinginnya malam ini, seperti menarik lidah dan leherku. 

Dimanakah nyaman dalam bayang fiksi kehidupan ini? Yang tak menjadi suatu rahasia lagi, rasa hormat yang tertekan, ada kalanya aku masih curiga pada dunia sosial terpandang rancu ini.

Kemanakah akan ada nyaman membawa diriku sendiri? Kesangsian, skeptisisme, kecerdasan yang ambigu menurut banyak anggapan sosial, seperti tergeletak tragis dalam bayang alienasi diri secara sosial di kemudian hari. 

Tetapi pada kenyataannya, bukankah kita "manusia" membutuhkan bahagia dalam balutan sosial yang agung dalam kebersamaan, walaupun hanya perkara basi-basi hidup saja?

Rasanya memang seperti tergeser bak sampah yang penuh, dan akan hilang di larutkan ke sungai dengan debit air yang lumayan besar. Wajah dengan kilauan bercak membekas, tamparan yang keras bagai busur panah, menerjang hati sanubari ini, manusia dengan kehidupannya. 

Lelah diri, lelah memandang apa yang harus seyogiyanya di lakukan manusia. Bekas yang mungkin akan hilang, terkesan ini hanyalah masalah kepatutan, bagaimana diri memandang dirinya sendiri.

Aku merasa, bukan pada suatu bentuk anti sosial itu, bukan pula pada bentuk mengingkari dunia ini, hanya saja mental yang terkadang berubah drastis, membawa hidup ini hanya dalam perenungan saja yang mecoba ingin direkam untuk nanti. 

Lingkungan bentuk hidup yang kecil, bagai pisang tanpa warna kuning dimakannya, sepet, terlalu lama jauh memandang setiap alienasi kehidupan ini, "teralami".

Mungkin aku harus belajar pada riuhnya semesta pencarian kehidupan bertahan hidup ayam-ayam di belakang rumah. Akankah terbayang lampu hijau yang menjadi dasar dari ditunggunya lampu merah sana? 

Tidak tergambar jelas bahwa, lamunan membawa kesadaran baru akan hidup sekrumunan kecil ayam, yang sedang mengais makanannya sendiri di belakang rumah tanpa dia malu-malu pada manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline