Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Hebert Marcuse, Dimensi Logika Kerja

Diperbarui: 14 Juni 2019   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi, dokpri; Buku Manusia Satu dimensi karya Hebert Marcuse

"Ketenangan yang kini hadir, mengapa terkadang terusik oleh logika formal satu dimensi itu? Seakan kehidupan modern hanya di pandang satu dimensi prespektif saja yang baku. Siklus itu-itu saja. Trend kerja, menikah, punya anak; produksi dan Konsumsi seperti takdir kehidupan".

Kisah yang lalu, logika menyelami kerja yang tidak sampai. Kepatutan dan kepatuhan menjadi alasan bahwa: bekerja sama halnya membanting tulang. Menyuapi dan memberi kepada yang lebih besar pengahasilannya dalam kerja sama ruang perusahaan "User", dari pada yang lelah membanting tulang itu sebagai "kuli". 

Atas nama status mereka user perusahaan bergeming, layak marah, memerintah, dan kuli harus mau, tidak boleh berkata tidak, bahkan membantah. Tetapi ini hanya perkara keputusan itu, yang lemah memang harus menepi, biarlah mereka kini kuat yang, akhirnya akan butuh orang lain juga pada akhirnya.

"Orang yang tidak pernah menghargai orang lain, suatu saat akan merasa bahwa; "dia selalu akan butuh orang lain", meskipun seberapa pun jelek orang lain itu". 

Memang betul, pertimabangan utamanya sebenarnya keleluasaan waktu sebagai kuli itu sendiri. Seperti kutipan dalam Buku Karya Hebert Marcuse itu. "Kemerdekaan dari kerja lebih disukai dari pada bekerja membanting tulang, dan suatu kehidupan cerdas lebih disukai dari kehidupan bodoh".

Mendapat komplen dari atasan sebagai kuli memang wajar, itu biasa dalam dunia kerja mutakhir yang semakin menutut atas nama kerja sama dan uang. Ketika atasan terancam dengan performa kerja bawahan dalam perusahaan jelas, ada upaya penekanan-penekanan itu, untuk memperbaiki performa kerja tanpa ada naik dan turun.

Tentu adalah langkah mengamankan namanya bagi seorang menjabat "User" perusahaan. Jika kuli dalam kerja perusahaan tidak sesuai harapan, nama Userlah yang di pertaruhkan akan setiap hasilnya yakni keburukan. Jika kuli performannya baik dan dapat pengharagaan, bukan kuli yang dapat, tetapi User dalam setiap langkah kerjanya yang bagus lalu di hargai perusahaannya.

Jika setiap upaya kerja keras banting tulang, berujung pada komplen yang tidak berkesudahan memang tidak perlu ambil pusing. Kuli dalam hal ini punya dan berhak langsung pengajuan keluar dari perusahaan dan lari dari ketidak bebasan atas nama kerja yang mengekang.

Ibarat kata kuli sudah bekerja banting tulang, siang malam, dan user itu mengetahui. Tetapi ketika ia mempergunakan waktunya sedikit dan ingin menikmati bebas, ia di komplen bak kuli yang harus patuh dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun.

Pertanyaan yang tersisia kini seberapakah gaji kuli yang terus di porsir tenanganya itu? Apakah sepadan dengan apa yang mereka lalukan, dalam arti sumbangsingnya terhadap perusahaan? Maksimalnya atas penggajian UMR (upah minimum regional) yang dibayarkan membuat berbagi ketimpangan itu. Apakah kita akan stagnan tanpa upaya mencari tempat yang lebih baik, walaupun kini kebanyakan kerja juga gaji UMR?

Kondisi terbalik antara gaji dan pengeluaran yang besar dalam kota pun tidak membuat kesadaran akan performa kerja yang termotivasi karena gaji. Rata-rata elit-elit perusahaan yang menikmati itu. Tetapi tidak pernah merasa terbantu akan pernanan kuli yang, nyatanya tidak terlihat dari upaya memperjuangkan gaji mereka supaya dapat lebih dan menikmati hidup layak sebagai kuli oleh elit perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline