Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Imaji dan Realitas Hidup

Diperbarui: 28 Mei 2019   03:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: pixabay.com

Untuk merasakan indah, dan bahagia menurut anggapan imaji, apakah harus merasakan sakit mental terlebih dahulu? Merasakan sakit mental itu tidak ada yang mengenakan. Semua serba hambar ditelan kerakusan dan kejahatan mental kita sendiri.

Terlebih, mental kita adalah mental pengejar yang haus untuk mendapatkanya sesuatu. Mungkin jika seperti itu manusia, Ia tidak akan bahagia pada akhirnya selama hidupnya. Dalam dirinya akan terus dihantui apa yang dicintainya termasuk, "semesta kecintaan terhadap apa pun termasuk harta pada kehidupannya".

Terselip dipikiranku tentang satu kisah, di mana mencintai apa pun dengan tanda tanya haruslah dipertanyakan. Siapa dan bagaimana suatu bentuk yang di cintai itu? Bahkan di realitas tidak  akan tergambar dengan jelas. Banyak di jumpai, bahwa; kita harus mencintai agar kita melakukan sesuatu dengan total, dedikasi, dan pengabdian.

Tetapi cinta tanpa ada umpan balik yang sepadan seperti tanda-tandanya kabur. Bentuknya seperti udara berlumuran di atmosfir bumi. Terkadang aku curiga, yang kita cintai adalah imaji yang tak tergambarkan. Tentu oleh diri, bentukan dari ego serakah ingin bahagia menurut opini kita, dan orang disekitar kita. Untuk itu pada kenyataannya, dedikasi dan segala macamnya tidak  pernah di hargai.

Tidak banyak yang tahu, bagaimana melelahkannya bermain imaji itu sendiri. Terlebih imaji itu menjadi keyakinan akan indah pada waktunya. Memang, adakalanya imajinasi itu penting. Tetapi, bukankah imajinasi punya daya kadarnya sendiri? Baik dan buruk pasti ada dalam imajinasi, termasuk segala bentuk hitung-hitungan antara untung dan rugi..

Imaji memang penting, tapi bagiku, lebih penting diri kita sendiri. Banyak kisah indah, sukses, bahkan memilukan berakar dari imaji. Disinilah Anda perlu tahu, memang ada kalanya hidup itu hanya bergelut dengan diri sendiri.

Kebanyakan apa maunya diri, terbentuk dari kontaminasi pikiran, dan pengelihatan dari luar diri itu sendiri. Sebagai contoh: bagaimana imajinasi cinta akan indah tanpa realitas aslinya? Atau terus digencar semangat untuk bekerja tetapi kita tidak pernah sejahtera.

Bukankah jika cinta direalitas aslinya tidak pernah terbalas, bahkan saling bersentuhan, saling memberi umpan balik, akan menjadi kegagalan yang dipertahankan imaji? Disinilah yang akan menjadi kesalahan fatal mental bentukan imaji.

Keindahan imaji cinta sepihak akan mengahancurkan mental diri sendiri. Termasuk; cinta pada upaya kerja manusia yang terus dicekoki dengan upaya abdi yang baik. Tetapi ia hanya menguntungkan satu pihak, dan dirinya tidak sama sekali ikut diuntungkan.  

Rasanya memang benar, sebagai manusia penikmat cinta bentukan kosep luar diri haruslah mampu menilik kembali direalitas aslinya. Sinkronisasi antara obyek realitas dan imaji sangatlah penting.

Jangan sampai imaji salah dengan realitas obyektifnya. Seharusnya, jawaban realitas obyektif haruslah melalui pembuktian dahulu, untuk memastikan keakuratan imaji nanti. Dalam arti "obyektifitas dari realitas harus mendahului imaji itu sendiri".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline