Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Manusia, Pemuja Sekaligus Pengkritik

Diperbarui: 27 Mei 2019   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi diambil dari pixabay.com

Malam ini seperti halnya kemarin "bersama suara-suara keras dari pojok-pojok perumahan". Saya tidak mengerti apa yang mereka rasakan? bahagia ataukah tertekan oleh budaya yang mereka yakini. Yang mungkin saya tidak tahu, ini sudah terjadi sejak sebelum saya dilahirkan.

Mereka melakukan ritual-ritual ini setiap hari di bulan yang tertunggu dalam satu tahun hanya satu bulan. Saya merasa dunia ini tidaklah berbeda, hanya saja saya yang perlu membiasakanya. Perkara itu menjadi budaya yang dijalankan semua orang, dan saya hanya duduk terdiam, hanyalah bentuk kehendak dari pilihan.

Saya merasa yang perlu berubah adalah diri saya sendiri, saya tidak mungkin bisa berjuang hidup tanpa mereka dengan berbagai perbedaan yang manusia miliki. Ketetapan mungkin bisa saja berganti menjadi lebih baik atau lebih buruk. Saya akan menjadi sangat naif jika mengkritiknya. Mungkin hari-hari selamanya akan tetap sama, tetapi setiap generasinya berbeda dalam memandang kehidupannya sendiri.

Namun saya harus paham bahwa; semua ini milik kita semua, ketika cara hidup itu memanggil, biarlah yang hanya terpanggil melakukan dan membangun budayanya tersebut. Saya mengira perbedaan budaya buakanlah soal, "yang menjadi persoalan adalah ketika kita mempersoalkan itu". Untuk itu, janganlah menghancurkan tatanan yang sudah ada yang dibangun lewat tenaga, tangisan, keringat, dan juga darah.

Tidaklah kita untuk berharap pada dunia tetapi, "kita yang merubah dunia dengan cara kita sendiri tanpa mendeskriditkan orang lain". Memang hidup mereka hanya mereka yang dapat merasa dan menikmatinya. Begitu pun kita sendiri, "hanya kita yang tahu mana yang baik untuk kita".

Meskipun terkadang hidup harus menjadi pemuja sekaligus pengkritik sebagai manusia tetapi biarlah. Menjadi sama "mereka pun harus membiarkan kita". Jika ada sesuatu yang tidak kita mengerti ya, karena itu kita harus mengetahuinya "meskipun kita tidak menyukainya" terpenting hidup bersama menjadi tujuannya.

Pengkritik dan pemuja dalam masyarakat kata-kata

Sudut kota meyampaikan petuahnya setiap pagi, siang, sore, malam. Tetapi petuahnya tidak saya mengerti. Pemakaian bahasa menjadi kendala yang sangat besar. Terlalu lama petuah itu tidak berhenti-henti, pertanda petuah yang tidak saya maksud itu sudahlah membosankan. Saya berpikir dialah (petuah) yang membuat saya bosan. Karena "dia tidak punya daya kreatif yang tinggi untuk membuat saya tertarik". Petuah disampaikan begitu kuatnya, yang asli petuah itu adalah ajaran hidup bermakana ambigu. Tetapi bermakna indah dan tersembunyi bagi mereka.

Mengapa saya katakan ambigu? Karena tidak ada sinkretisme dengan budaya pada setiap masanya. Keaslianya sungguh dipertahankan, sehingga ia menjadi asing karena berasal dari budaya yang asing. Namun karena keaslian itu, menjadikannya "dia hanyalah produk sia-sia belaka yang bermakna, tetapi tidak syarat akan makna". Tetapi, bukankah mereka masih memujanya? Jadi mengapa? Tanyakan ada apa?

Bahasa dalam ajarannya haruslah yang mudah dimengerti, supaya hanya mendengarkan pun menjadi maksud, dan ajarannya bisa menyentuh relung hati terdalam manusia.

Enggannya menjadi budaya yang berdampingan dengan budaya asli menjadikan itu ajaran dari sana, yang sebenarnya hanya untuk orang sana. Rasanya saya ingin mengkritik budaya ketuhanan. Tuhan apakah engkau tidak universal sebagai identitas yang teryakini? Apakah eksistensi engkau begitu banyak di dunia ini, sehingga engkau diklasifikasikan asal daerah mana itu tumbuh?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline