Ada yang menarik dari tahun politik kali ini. Pemilu serentak membuat pemilihan umum dalam satu hari, baik Pilpres maupun Pileg. Tetapi di desa saya, wilayah Jawa Tengah bagian barat-selatan sana pada tahun yang sama juga diadakan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Di mana Pilkades akan dilaksanakan pada 20 Februari 2019 sebelum Pilpres dan Pileg yang akan dilangsungkan 19 April 2019 nanti.
Jika membandingkan politik kancah nasional dengan pedesaan jelas sangatlah berbeda. Tentu bagi saya lebih menarik politik pedesaan. Mengapa demikian? Karena jumlah lingkup pemilih yang kecil membuat politik pedesaan sangat berasa secara langsung bagi masyarakat. Oleh sebab itu tentang obrolan-obrolan di tongkrongan dengan tetangga pun harus berhati-hati. Jangan sampai menyakiti dan menyinggung calon kepala desa pilihan hati tetangga.
Bagi dan menurut saya, dunia perpolitikan kelas pedesaan merupakan kontestasi politik yang sesungguhnya. Sebab, antara calon dan pemilih bersentuhan secara langsung. Bahkan tidak-tanduk calon itupun sudah dikenali oleh pemilih (masyarakat) dengan baik. Bisa dikatakan bahwa demokrasi sebetulnya ada di desa. Aroma pemilu pun sangat terasa jika Pilkades akan berlangsung.
Orang-orang berlomba menjadi suksesor calon tersebut. Tentunya karna sudah membudaya, antara simpati politik, uang bahkan ikatan sodara. Tetapi tidak jarang banyak orang desa memlih karena uang, di samping kecintaan pada calon itu sendiri.
Tetapi di balik uang yang lumrah dalam politik desa. Ada sajian yang berbeda dari politik desa, yaitu kesediaan masyarakat untuk bertamu kepada setiap calon. Sebab di desa masih terjaga tradisi, calon kades membuka rumahnya setiap malam menjelang Pilkades. Tradisi seperti ini merupakan tradisi turun-temurun yang masih berlangsung sebagai budaya politik pedesaan. Tidak peduli dengan suka atau tidak sukanya kepada calon tersebut. Mayoritas masyarakat seperti bebas tidak terbebani pilihan politiknya terhadap salah satu calon tersebut.
Dan uniknya masyarakat membawa lawuh medang-nya sendiri untuk bawaan mereka bertamu ke rumah calon kepala desa. Lawuh medang adalah kumpulan berbagai jenis sembako yang biasa digunakan sebagai sajian layaknya jamuan bertamu. Sembako tersebut biasanya terdiri dari gula, teh dan cemilan-cemilan khas desa seperti kripik tempe, klanting dan sebagainya. Pemandangan seperti inilah yang mencairkan suasana dan sulit ditebaknya calon mana yang akan menang dalam pengumutan suara nanti.
Tidak jarang bumbu-bumbu yang disajikan pun berbeda jauh dengan kancah perpolitikan nasional. Politik pedesaan menurut saya menarik karna dominan pada faktor mistiknya. Sebab di desa tidak ada tim sukses yang akan berbicara program-program layaknya kontestasi politik nasional. Apalagi dengan survei-survei ekstabilitas dari calon-calonnya, sudah dipastikan belum pernah ada dari mimbar politik desa. Mungkin suatu saat jika zaman telah maju, perpolitikan desa pun akan ada ekstabilitas untuk urusan-urusan ini.
Tetapi jika ada survei, siapa yang akan memenangi Pilkades, biasanya dilakukan para gento dari dalam atau luar desa sendiri. Kelas gento adalah mereka para penjudi yang memanfaatkan momentum pemilihan kepala desa sebagai ajang penjudian yang sangat menarik.
Mengapa menarik? Karna bahan perjudian mereka adalah statistika yang bahannya dari perkiraan survei jumlah pemilih informasi agen-agen rahasia para gento itu sendiri. Bahkan perjudian bisa menyentuh puluhan bahkan jika para gento berani bisa ratusan juta.
Maka dari itu, penyandaran-penyandaran mentalitas rasa akan menangnya calon digantungkan pada orang pintar desa berserta tirakat-tirakat apa yang sudah dilakukannya. Dalam pengertian orang pintar di desa bukan dia yang sarjana atau berlabel lulusan dari perguruan tinggi kelas dunia. Politik desa tidak ada argumen logis sesama tim sukses atau program apa yang menjadi prioritas calon kades.
Dengan penyerapan dana desa yang sedikit, janji dari calon kades tidaklah ampuh. Terbukti janji membangun lapangan desa tempat saya sudah dari beberapa calon kades dan selama itu pula belum pernah terealisasi. Saya memaklumi karna pendapatan desa sangatlah sedikit jumlahnya bila dibandingkan pendapatan negara.