Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Zaman Ambiguitas Muktahir Kota

Diperbarui: 16 Maret 2019   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

news.okezone.com

Bagaimana ini akan terekspresikan pada akhirnya? Diam, penuh pertimbangan dan suatu kekhawatiran yang berkecambuk dari dalam dada yang ternoda. 

Mungkin aku harus bertanya juga pada kedalaman, mengapa aku tidak seperti dia saja? membangun rasa cemas dalam eksistensinya sebagai manusia populer zaman muktahir ini. Seperti ada anomali yang tergenggam, ia rancu ditelan lamanya akan hadir dimasa yang akan datang.

Tersirat rupa-rupa ambiguitas jaman. Lama-lama manusia mungkin akan tenggelam pada idenya sendiri. Bagaikan kerumitan yang subur ditelan abu vulkanik merapi. Peringatan bagi yang malam ini muak dengan dirinya sendiri. Besok engkau akan bangun, engkau mencari sesuatu dan menghabiskan bekalmu dari tabungan keceriaan hidupmu. 

Lantunan-lantuan yang bergema, aku menunggu engkau mengutuk dirimu sendiri. Bagaimana kau ada pada jiwa-jiwa yang sakit akan pengharap-pengharapannya. Tersesal, panjangankan imajinasi ini agar tak berhenti. Suburkanlah seperti detum suara bing-beng toa-toa kehidupan.

Mengais-ngais  firdaus yang ada, taman dengan wahana bermain gratis tanpa pungutan kertas dalam bentuk tenaga. Terlepas disana, engkau hanya menari-nari atas derita yang akan engkau ciptakan besok. Menunggu lagi, sebulan lagi, pengahrapan surgamu yang tidak pernah putus oleh alam pikranmu sendiri. 

Terlepas begitu saja, membuat pusing tujuh lompatan kedepan dari saat ini. Membulat seperti karantina tubuh dalam kemakmuran yang terfasilitasi setiap hari. Aku ingin mengutuk, aku akan mengutuk semua bentuk kesepian semu pada imajinasi-imajinasi yang dangkal.

Uraian narasi yang tergenggam, bagaimana engkau akan membuat hidup ini seperti apa yang membakar telapak tangan ini? Seperti buaya, sudah tidak aku lihat lagi kucing yang biasa tidur dikursi depan tempat paling indah sekaligus memuakan dalam hidupku ini. Rintik hujan bercampur dengan gemuruh suara puji-pujian pada semsesta. 

Apakah rasa sebenarnya buta? Bukankah ketenangan yang harusnya mereka butuhkan agar tenang menjalani kehidupan ini? Mungkinkah mereka sangat frustasi kepada kehidupannya, lalu berkoar-koar dengan harapan kepada keadaan yang melampaui realitas dirinya sendiri?

Sungguh akan menjadi berbeda, kepala ini pusing seperti ingin pecah. Rasanya aku ingin bergerak saja keatas awan dengan ketenangan yang hakiki. Tetapi hidup muktahir ini apa? Hingar bingar kota membuat kualitas kehidupan tanah jawa lebih dangkal. Mereka mencari ketenangan dan ganjaran pada makhluk-mahluk yang lelah dengan dirinya sendiri. 

Sudah, diamlah, dengan segala bentuk pujian-pujuan ungkapan kefrustasian. Besok engaku ada dalam realitas hidupmu dan sekarang mencoba melepaskan itu? Apakah pantas dengan hasil yang akan engkau dapat besok? Jadilah tenang tanpa bergerak masyarakat kota? Tenangkan mulutmu, tenangkan daya gerakmu dan tenangkan pikiran yang bersumber dari rasa frustasimu.

vebma.com

Sebenarnya cukup jelas, orang-orang kota hanyalah butuh bergerak dalam budaya untuk kehidupannya. Perayaan dibutuhkan, tentang keindahan, dan kerapian pada arah kehidupan itu sendiri. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline