Perempatan ramai lalu-lalang orang. Mereka berjalan dengan kepentingan mereka sendiri. Orang sedang menikmati makanan di pojok sebelah sana. Mencuci piring di pojok lainnya, dan juga anak dan ibu yang sedang menikmati jajanan diluar rumahnya. Seakan kebosanan meratapi hari-hari kita. Mecoba dan terus mencoba mencari sesuatu diluar yang bisa mengalihkan perhatian kita terhadap diri kita.
Sepertinya benar, kehidupan adalah untuk melayani. Disudut sebelah sana aku lihat ada orang membawa merpati, dilihat-dilihat, pernahkah kita bertanya untuk apa mereka menyukai merpati? Apakah mereka melayani merpati? Bukankah ia makluk yang ingin bebas terbang kemanapun ia mau? Aku akan sedikit menjawab rasa penasaranku dengan pendapat dari dalam diriku.
Mungkinkah mereka para penyuka terhadap apapun adalah untuk melayani diri sendiri juga? Ada hasrat yang harus ditunaikan, tentang diri dan tentang dunianya. Selalu diri kita mengejar apa yang kita butuh. Tentu kebutuhan yang pasti lahir dari dalam diri kita sendiri. Pengaruh dari luar hanya sedikit, kita memang melihat apapun, semuanya jika itu menarik, akan menjadi kebutuhan kita berikutnya. Tetapi diri adalah kontrol bagi dirinya sendiri. Manusia tetap dituntut merasionalisasi apa yang terlihat untuk menjadi kebutuhan.
Tukang bubur di samping sana yang tetap melayani dengan senang hati. Ketika terlihat disebrang jalan sana ada tukang parkir yang sedang menunggu motor dan mobilnya tetapi bukan miliknya.
Malam ini, tidak ada yang tidak melayani, semua melayani! Seperti tukang cukur ini, tidak akan berhenti ketika masih ada pelanggannya yang menunggu. Lebih bosan bagi tukang cukur jika ia yang menunggu tanpa pelanggan yang hadir satupun. Karna ia tidak dapat melayani dirinya dengan hasil kerjanya.
Lalu-lalang malam ini, sang ayah membawa anakanya jalan-jalan. Aku melihatnya, rasanya jika aku punya anak kelak, aku juga akan menjadi sepertinya. Melayani segenap hati untuk anak-anak yang sama juga mencoba peruntungan dalam hidupnya. Dunia yang ingin terus dinyanyikan, terkadang dengan suatu derita. Menunggu lama untuk dilayani tukang cukur ini. Ternyata aku juga sama melayani diriku agar terlihat rapi, syukur-syukur menarik hati pujaan hati.
Dirasa-rasa semua bentuk kehidupan hanyalah hukum ketertarikan kita akan sesuatu dan terhadap sesuatu. Dunia sudah terlalu membentuk dirinya sendiri sedemikian rumit. Manusia juga harus terus membentuknya dari setiap kerumit-kerumitannya menjadi manusia, untuk diri dan kehidupannya. Suara gelas pecah, dan terdengar ada tangis anak kecil yang merasa bersalah memecahkan gelas itu. Manusia membentuk dirinya dengan rasanya. Benar dan salah adalah cara dia merepresentasikan perspektifnya.
Semakin malam, tidak juga semakin sunyi di kota utara jawa ini. Masih ada pengayuh becak dengan sabar menunggu pengguna jasanya. Aku yang masih menunggu giliran dicukur rambutku dengam tetap menulis di smart phone. Sangat hambar rasanya menunggu tanpa musik, malam yang ramai dengan simfoni musik instrumental. Kota yang mengoyak perasaan, hidup dalam pusaran imaji, tertinggal apakah besok akan menciptakan suasana hangat disudut-sudut perempatan seperti malam ini? Inilah kehidupan kota dengan problematikanya.
Melayani berarti berkorban untuk orang lain, meski berat, ada yang lebih terdahulu dipentingkan. Dibelakangku anak kecil sedang mengantri, sama akan mencukur rambutnya juga.
Ia juga membawa adiknya yang terilhat sudah mengantuk. Hingar bingar kota, anak kecil tidak akan memperdulikannya. Aku harus merelakan antreanku untuk mendahulukan dia meskipun lelah juga diriku menunggu antrian.
Sesama manusia seperti kebutuhan yang harus dipilih untuk lebih didahulukan. Anak-anaklah yang terlebih dahulu didahulukan, jangan sampai ia lelah dengan hidup sebelum waktunya.