Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Menatap Dunia Kembali

Diperbarui: 23 November 2018   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dok. pribadi)

Aku tahu harapan tidak akan pernah luntur. Sekian lama aku hilang, aku hilang bukan karna aku tersesat. Aku ada seperti mereka, yang jalan-jalan ditempat keramain. Namun aku berbeda, bukan membedakan diri, hanya nasib yang membuat aku begini. Rasanya hidup adalah kekosongan yang perlu terisi.

Sekian lama, tidak ada yang benar-benar mengerti aku. Seperti akupun terlihat cuek dengan hobi-hobi mereka, cara hidup mereka. Bukan aku tidak mau seperti mereka, tetapi hobi dan cara mereka saja yang kurang menarik untuk diriku bahkan kurang cocok denganku.

Kekecewaan rasanya menyadarkan. Tidak mungkin kecewa dibalas dengan bahagia diwaktu berikutnya. Begitu juga harap, ketika aku disakiti oleh harapan justru diriku menambahkan harapan dan sungguh memuakan. Rasa sakit mengharap yang tidak pernah selsai, juga rasa kecewa yang tetap mengendap, herannya tak cepat juga menyadarkan diriku sendiri.

Aku lihat ada cahaya dilangit sebrang sana. Menjadi manusia utuh adalah manusia yang mengikuti bintangnya sendiri. Selama ini aku disesatkan harapan banyak orang. Aku dikecewakan oleh kekecewaan banyak orang juga. Aku ingin pulang, benar aku hanya ingin pulang kembali kepada diriku sendiri.

Aku ingin menatap duniaku kembali. Dunia yang sepi namun membuat kebahagiaan dalam hati. Ketika tulisan-tulisanku terbaca oleh banyak orang dan bisa menanamkan kebaikan. Berdiskusi terhadap minat yang sama. Aku pulang, aku ingin pulang untuk menjadi diriku seutuhnya.

Aku menunggu waktu berkumpul dengan mereka. Bercerita tentang kita, menulis kisah kita. Aku terpanggil bersinergi dengan energi sejenis. Sastra menghidupiku, seakan aku hidup dengannya. Aku hanya ingin tinggal bersama, berbagi kisah bersama dan melukiskan langit yang kita tinggali bersama.

Izinkan aku masuk dalam kerumunan energiku. Aku sudah terlalu lama menjadi soliter. Mendekap sastra, meluapkan perasaan dan menulis suara hati yang terpendam. Untuk dibagi, bersama kita pelajari. Sebagai warisan perasaan yang dilukiskan, tersimpan abadi untuk saat ini dan nanti. Tentang yang akan tergambar selanjutnya, renungan masa yang akan datang untuk dan bagi kita manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline