Lihat ke Halaman Asli

Toto Priyono

TERVERIFIKASI

Penulis

Buwana Alit Pasca Berkabung

Diperbarui: 30 September 2018   09:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.chronicle.com

Aku rasa pulau ini akan kembali terang. Seakan kemarin berkabung selama beberapa minggu. Cahaya dari lampu ini terlihat memikat pertanda ada ruang hidup baru menyeruak antara kita, kau dan aku.

Kemarin hati rasanya gentar, ada genderang perang namun tak kunjung jendral datang memimpin peperangan. Tombak-tombak disiapkan, pasukan berjejer bak permata yang akan berkeliaran. Menunggu-nunggu musuh tidak kunjung datang.

Ungkapan-ungkapan metafora tetep bergema dalam diam, diam, diam dibuwana alit. Keraton-keraton mulai akan dibangun. Pondasinya sudah disipakan, akankah sang ratu dari timur utara akan datang? Pangeran menanti dengan kegelisahan.

Angin mulai gemuruh, hujan rintik-rintik kian membesar titiknya, adakah disana tahu ungkapan dalam rasa itu? Sang ratu sedang belajar, ia belajar yang sebelumnya ia tidak tahu. Kekuatan batin, ia kuat, hanya batinnya tak terasah dengan lebih layak.

Prajurit mengantuk dalam ketidakpastian penantiannya. Tidurlah pulas untuk besok lagi, hari dapat untuk disambung, pagi harus bangun dan menunggu lagi, sang ratu kapankah engkau datang? Perjalananmu banyak aral dan rintangan kah? Percayalah terjawab dengan kegigihan melawan rasa kantukmu, oh ratu yang bijaksana.

Suara rintikan air, teh pahit dihadapanku dengan gelasnya. Kata seseorang hidup sudah pahit minumnya jangan terlalu pahit, ah persetan denganmu. Karna hidup ini pahit, agar kuat-kuat menerima pahitnya kenyatataan. Bairlah buwana ageng yang bekerja untuk semua.

Terkadang membingungkan, semua seakan jauh dari nalar. Jika iya aku adalah orang yang beruntung itu. Dari mana ia tahu, bagaimana aku dan seperti apa aku? Seperti jejak yang tidak terlacak. Ternoda tanpa bekas, tanpa garis dibawah meja.

Menjadi manusia memang sulit, semua serba menantang. Ketika hati ini sudah tidak lagi bisa digetarkan, yang kita cintai tidak cinta dengan kita, sebaliknya, yang sama sekali tidak diharapkan justru malah memberi harapan. Dibalik lagi hanya permainan, bermain pada setiap anggapan.

Namun hidup seakan berkali-kali, sekali tak ingin tetap tidak ingin. Semua serbu dibalik pilu, berhayal pada hayalan itu sendiri. Sikap tertekan se tertekan bagaimana manusia dengan sifat menerimanya. Hidup ini sulit, sesulit menerima yang tidak mau kita terima. Kini terserah kita, jujur seharusnya sedari awal apa yang menjadi hasrat kita. 

Agar tidak tercipta embun pagi hari, tidak tercipta pula bekas- bekas luka yang membekas. Aku tidak tahu lagi semua untuk apa, sampai kapan aku tetap malu, malu pada kekurangan yang tak pernah engkau minati. Bidadari yang terasa, bisakah kau mogodaku untuk sekali saja. Membiarkan ekspresi ini tumbuh, lalu hilang kembali, tumbuh kembali seperti plepah pisang di pekarangan rumahku ini.

Bintang-bintang berkeliaran, tak semua menjaga dirinya. Mereka bebas, tapi dengan apa merebut kebebasan mereka. Sekali lagi, aku ingin menjadi penyair yang masyur, agar dieluhkan setidaknya oleh satu wanita sesuai dengan harapanku. Untuk, bunga-bunga yang sejenis, dapatkah kita menyatu tanpa syarat? Sebenarnya sudah lelah hayati ini!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline