Tulisan ini mengandung banyak problematika tentang pelaksanaan pemilihan umum yang banyal pihak menobatkan pemilihan umumterburuk sepanjang sejarah Indonesia setelah reformasi terjadi. Namun sebaliknya saya menganggap bahwa pemilihan umum yang dilaksanakan dalam sebauh negeri yang demokratis sering menimbulkan pergolakan di tengah masyarakat, menjadi pemilu terburuk bahkan sebelum tahun 2024 ini berlengsung. Sudah bukan rahasia umum lagi tentang pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh salah satu paslon dan kode etik ketua KPU sebagai penyelenggara. Namun bahasan ini akan berfokus pada kehadiran Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai lembaga yang menyelenggarakan Pemilihan umum sesuai dengan Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum. Tentu saja ini analisis pribadi tentang sebuah negara demokrasi yang mencoba untuk melaksanakan pesta rakyat lima tahunan tersebut.
Problematika akan kehadiran lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang politik, hal ini memang bagian dari kebebasan untuk berorganisasi. Hal ini tetap akan menambah banyak persepsi terhadap pandangan masyarakat yang seiring perkembangannya, yang menyebabkan kehadiran lembaga survey menimbulkan pembahasan politis. Karena sering dipandang sebagai alat untuk menggiring opini terhadap elektabilitas politisi yang mencoba menaikkan eletktoral seseorang. Namun ini juga akan membuat ketidaktransparanan akan indikator penilaian terhadap seseorang termasuk kerja-kerja lembaga tersebut, apakah berada dalam koridor yang benar sesuai nilai-nilai akademis yang sering di sampaikan ataukah pada kepentingan yang membiayai hal hal demikian.
Mengalihkan opini sampai pada tahap menggiring opini baik itu berbentuk negatif maupun positif menjadikan pertimbangan masyarakat untuk mempercayai setiap lembaga survey. Maka hal ini juga terjadi ketika setelah pemilihan umum berlangsung, melalui quick count yang secara masif di tanyangkan oleh semua televisi nasional. Perhitungan cepat oleh lembaga survey ini setidaknya memperoleh banyak angka dan data yang konon katanya di dapatkan berdasarkan sample yang di kumpulkan dari berbagai TPS di seluruh Indonesia. Hasil yang di peroleh melalui metode Quick Count ini setidaknya memberikan gambaran terhadap masyarakat siapa yang lebih unggul.
Permasalahan hadir ketika masyarakat sudah menganggap bahwa hasil Quick Count ini merupakan hasil real pemilihan umum, sedangkan KPU dan rekapitulasi masih sedang berlangsung. Hal yang menjadi tanda tanya ketika hasil pilpres sudah muncul 1 jam setelah pemilihan berlangsung sehingga dapat mengeluarkan data dan angka akan perolehan suara setiap pasangan calon. Tidak semua mengetahui pada dasarnya bahwa hasil Quick count hanya berbentuk predikat karena bukan lembaga resmi dari penyelenggara pemilihan umum.
Namun ketika banyak pihak sudah bisa mengklaim kemenangan akan perolehan suara mereka melalui Quick count sehingga menggelar pesta kemenangan dengan pidatonya yang berapi-api seolah-olah itu adalah hasil yang resmi. Lantas apakah mereka sudah tidak memerlukan lagi lembaga penyelenggara pemilihan umum atau KPU? pada akhirnya lembaga-lembaga survey secara sadar mendahului hasil keputusan KPU. Hal yang sangat memprihatinkan ketika seorang presiden sendiri menyampaikan selamat kepada pemenang pemilu yang di jadikan rujukan kemenangan nya adalah Quick count. Ini sungguh ironis terlebih sejumlah pimpinan negara menyampaikan hal yang sama sehingga secara etika ini sudah melangkahi mekanisme yang telah di atur oleh KPU. Maka kehadiran KPU hari ini seolah tidak lagi berguna dan diakui keberadaanya dalam menyelenggarakan pemilihan umum, hal ini bukan hanya pada hasil perolehan pasca pemilu namun sebelum pemilu itu berlangsung sejumlah lembaga survey sudah mengetahui betul siapa pemenang pemilu yang akan datang, walaupun mereka menilai angka yang di sajikan hanya berbentuk prediksi.
Sebuah pertanyaan di benak publik pada proses pemilihan umum ini, yakni prihal KPU pada akhirnya hanya sebatas utopia belaka keberadaannya. Maka lebih baik di bubarkan karena sudah tidak di anggap oleh pemerintah itu sendiri. Bentuk legitimasi atas kemenangan salah satu paslon haruslah berasal dari KPU karena sebagai penyelenggara yang resmi. Adapun lembaga-lembaga survey sudah semestinya tidak secara masif mempengaruhi publik terlebih di dukung oleh penyiaran televisi nasional.
Pada akhirnya kita sadar bahwa sebuah peralihan kekuasaan tidak akan lepas dari banyak pihak yang mencoba untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan sedangkan di pihak lain mencoba untuk menggulingkan kekuasaan secara sah di mata hukum dan mendapatkan legitimasi dari hukum dan adanya pengakuan masyarakat. Tentu hal tersebut merupakan hal yang demokratis karena bagian dari proses demokratisasi, namun akan banyak pertanyaan pada prihal proses tersebut sesuai dengan Peraturan yang ada atau adanya sebuah penyimpangan yang pastinya melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperoleh sebuah kekuasaan.
Penulis, Komaruci
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H