Mesatia atau Mesatya (berarti "setia" dalam bahasa Bali) adalah praktik pemakaman religius yang pernah dilakukan di pulau Bali, di mana seorang wanita kerajaan atau istri seorang raja yang menjadi janda membakar dirinya diatas api kremasi suaminya.
Selain itu, mesatya juga dilakukan oleh para "sati" (gendakan-gendakannya dan pelayannya) yang mengorbankan diri secara hidup-hidup demi tuannya. Ritual Mesatya juga dilakukan untuk mengungkapkan kesetiaan dalam berbagai bentuk, termasuk janji dan perkataan.
Mesatya berasal dari keluarga kerajaan atau pemangku kekuasaan. Di Bali, upacara mesatya biasa dilakukan oleh golongan triwangsa khususnya keluarga kerajaan. Perbuatan mesatya di Bali sangat disanjung-sanjung lantaran mencerminkan sebuah kesetiaan yang mendalam.
Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat bali, namun mulai dilarang pada abad ke-20 karena dianggap bertentangan terhadap HAM dan teori humanisme. Pihak yang melarang adalah Belanda, pelarangan ini dilakukan secara berturut selama 1904 hingga awal 1905.
Adapun beberapa contoh mesatya yang pernah dilakukan di Bali ialah :
1. Pelebon Raja Gianyar Bali Tahun 1847
Dalam buku The Settlement of the Far East yang terbit di London tahun 1882, penulis Ludwig Werner Helms dengan gamblang menggambarkan rangkaian upacara Pelebon Raja Gianyar Dewa Mangis pada tanggal 20 Desember 1847. Dituliskan bahwa pada saat jenasah sang raja dibawa ketempat pembakaran atau tempat ngaben, dibelakang bade tumpeng sebelas milik sang raja terdapat tiga bade sederhana yang membawa ketiga istri sang raja. Mengenakan pakaian serba putih dengan rambut terurai cantik, ketiga istri sang raja tidak terlihat sedih ataupun takut melainkan mereka asik menghias diri menggunakan cermin dan sisir yang dibawanya. Kenyataanya, mereka akan melakukan upacara mesatya yang dimana mereka akan masuk ke kobaran api secara hidup-hidup.
Setelah sampai ditempat pembakaran, dilakukannya runtutan upacara ngaben sang raja. Setelah layon (jenasah) sang raja terbakar habis, ketiga istri tadi mempersiapkan diri untuk melakukan upacara puncak yakni mesatya. Ketiga istri tersebut juga membawa seekor burung dara kecil yang akan dilepaskan saat mereka meloncat kedalam kobaran api. Hal ini dilakukan sebagai simbol roh yang telah bebas. Orang-orang mulai menyiramkan minyak ke dalam kobaran api sehingga membuat jilatan api semakin membara. Setelahnya dengan badan tegak dan tanpa rasa ragu, ketiga istri tersebut meloncat dengan bersamaan. Mereka lenyap dalam api tanpa suara sedikitpun. Mesatya yang dilakukan oleh ketiga istri raja tersebut mencerminkan bagaimana rasa cinta dan kesetiaan mereka terhadap sang suami yakni Raja Gianyar Dewa Manggis.
2. Kesetiian terhadap janjinya, Patih Kerajaan Bangli 1885
Diceritakan pada buku Babad Sira Bang Agra Manikan Blahbatuh, pada tahun 1880 sampai dengan 1890 M di Bali Selatan terjadi perselisihan antara Kerajaan Gianyar, Karangasem, Bangli dan Klungkung demikian juga dengan Kerajaan Mengwi, Tabanan dan Badung. Pada masa itu sekitar tahun 1885, Raja Gianyar Dewa Manggis VII diasingkan di desa Satria, Klungkung. Dikarenakan beliau mengalami berbagai tekanan dari Kerajaan Kerajaan lain. Pengasingan tersebut membuat Kerajaan Gianyar tidak memiliki pemimpin dan akhirnya Raja Klungkung meminta Raja Bangli untuk mengirim pasukannya ke Gianyar dalam menjaga keamanan dan ketertiban di Gianyar. Hal ini membuat raja raja yang kerajaannya berada dibawah naungan Kerajaan Gianyar seperti Sukawati, Blahbatuh dan Abianbase meninggalkan Kerajaan agar tidak terkena serangan pasukan Bangli. Patih dari Kerajaan Blahbatuh yang memilih untuk tetap menetap di Kerajaan Blahbatuh akhirnya mencari pacek (pemimpin) ke Kerajaan Klungkung untuk menjadi pemimpin di Kerajaan Blahbatuh.
Sementara di sisi lain, Patih dari Kerajaan Bangli yang juga ternyata bersaudaraan dengan Patih Kerajaan Blahbatuh membuat janji kepada Rajanya bahwa beliau dapat menjadikan Kerajaan Blahbatuh menjadi bagian dari Kerajaan Bangli. Namun beliau belum mengetahui bahwa Kerajaan Blahbatuh sudah diserahkan ke Klungkung. Sesampainya beliau di Kerajaan Blahbatuh, beliau terkejut dan merasa malu dengan janjinya terhadap Raja Bangli. Karna rasa setia terhadap janjinya yang tidak dapat ditepati, akhirnya beliau melakukan mesatya. Beliau membakar rumahnya, keluarganya dan membakar dirinya.
Tentu saja di zaman modern tradisi Mesatya sudah tidak dilakukan lagi. Namun demikian, hal tersebut tidak menjadi alasan bagi generasi muda untuk meninggalkan atau melupakan sejarah seperti tradisi Mesatiya ini. Meski sudah tidak dilakukan lagi, tradisi Mesatya dapat dilestarikan dengan mempelajari sejarah dan makna kisahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H