Lihat ke Halaman Asli

Komang Ari

Mahasiswa

Catatan Kecil: Balada Ber-Agama

Diperbarui: 4 Mei 2023   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meminjam buah pikiran Emile Durkheim dalam buku Seven Theories of Religion karya Daniel L.Pals, bahwa agama dan masyarakat sukar untuk dipisahkan dan akan selalu bergantung satu sama lain. 

Dalam kondisi ideal, agama semestinya dapat dijadikan sebagai the way of life yang menjembatani pencapaian manusia terhadap kulminasi keimanan manusia yakni berupa 'memanusiakan manusia'. 

Tentu saja, kondisi ideal semacam itu dapat menjadi kontradiksi apabila dikomparasikan dengan berbagai fenomena yang ada saat ini. Agama sebagai 'jalan hidup' bisa jadi dipertanyakan sebagai 'jalan hidup' seperti apakah yang telah ditempuh manusia melalui jembatan yang bernama agama tersebut? Menarik, jawabannya tentu variatif bukan?

Namun, kita semua tentu sepakat, bahwa kekeliruan terjadi bukan pada agama itu sendiri, melainkan terdapat peran manusia dalam menjalankan nilai-nilai agama. Sayangnya, tidak semua ajaran agama dipahami secara serius. Sehingga, sangat rentan kesalahan penafsiran nilai-nilai agama justru memperkeruh kondisi masyarakat.

Saya teringat salah salah satu sloka yang termuat dalam pustaka suci Hindu, Sarascamusccaya 39 yang bunyinya sebagai berikut:

"Ndan Sang Hyang Veda paripurnakena sira, maka sadhana Sang Hyang Itihasa, Sang Hyang Purana, apan atakut Sang Hyang Veda ring wwang akedik ajinnya, ling nira, kamung hyang haywa tiki umara ri kami ling nira mangkana rakwa takut."

Terjemahan:

Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui jalan mempelajari Ithiasa dan Purana sebab Veda itu akan takut kepada orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya wahai tuan-tuan jangan datang padaku, demikian konon sabdanya karena takut (Kajeng, 2003: 32).

Tidak bermaksud mengandalkan pemahaman saya yang teramat dangkal dalam memahami makna sloka pustaka suci, namun mungkinkah ketakutan yang disampaikan oleh Veda (pengetahuan suci) kepada manusia yang sedikit ilmunya dapat digunakan sebagai refleksi? Bahwa kita (manusia) cenderung tergesa-gesa untuk memahami ajaran agama yang begitu mulianya. Ketidakmampuan menafsirkannya dengan baik justru menyeret agama sebagai kambing hitam kekacauan. Maka, bukankah akan elok jika perihal pemahaman agama ini dipahami secara bertahap?

Atas dasar keserakahan, barangkali kita kerap kali lupa atau bahkan enggan mengingat bagaimana tujuan beragama semestinya. Entahlah, namun lagi-lagi persoalan menunggangi agama atas dasar kepentingan individu bukanlah wacana kemarin sore. Persoalan ini adalah sesuatu yang amat niscaya untuk kita hadapi. Namun barangkali, dalam banyak hal, saya, anda dan kita cenderung lupa untuk berkontemplasi kembali terkait ajaran-ajaran yang luhur tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline