Dari Ritual ke Virtual
Sejak lama Indonesia merdeka, tetapi pendidiknya, khususnya seorang dosen belum merasakan "merdeka" yang sesungguhnya. Kini, ada angin segar bagi praktik pembelajaran di perkuliahan sejak diberlakukannya kurikulum merdeka.
Perguruan tinggi atau bangku kuliah bukan melulu soal menelan teori, melainkan ada ruang-ruang merdeka yang diciptakan oleh sosok dosen yang "merdeka".
Tidak banyak orang yang beruntung mengenyam bangku kuliah. Jika di perkuliahan hanya mengulang momen saat menjadi siswa dahulu, maka perguruan tinggi di Indonesia telah gagal bertumbuh. Di perkuliahan, setiap mahasiswa harus dan wajib diarahkan untuk menemukan diri, menemukan bakat terbaik mereka, merayakan setiap bakat yang ada.
Praktik baik merdeka belajar dan merdeka budaya sejatinya sudah dilakukan sejak saya kali pertama menjadi dosen. Namun, di kurikulum ini, perayaannya menjadi lebih semarak dan hangat.
Perkuliahan berbasis proyek, perkuliahan dengan merawat empati serta mampu meningkatkan literasi telah saya jalankan.
Manusia-manusia yang terdidik di bangku kuliah bisa menjadi "manusia hidup" bukan menjadi parasit berilmu yang sudah banyak ditemukan di negeri ini.
Perkuliahan dengan memanfaatkan pertumbuhan teknologi digital bisa menjadi daya tawar agar pembelajaran tidak monoton.
Sebagai contoh di kelas sastra, saya membebaskan mahasiswa untuk berkreasi memahami sebuah karya dengan memanfaatkan peranti reels Instagram, TikTok, siniar atau podcast sastra, dan lainnya.
Muncullah sastrawan cyber yang kerap menjadi panutan kaum galau dan kaum krisis kepercayaan diri. Kehadiran teknologi bukan menjauhkan kehidupan manusia.