Lihat ke Halaman Asli

uci ayu

penulis

Harga Sepotong Kaki

Diperbarui: 30 November 2022   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apakah dengan bersekolah setinggi-tingginya, pergi ke luar negeri, memiliki ribuan ilmu pengetahuan, lalu duduk di bangku parlemen, sudah cukup untuk mengatakan perempuan sudah merdeka seutuhnya? Sudah merdeka sepenuhnya?

Mengapa setiap kekerasan yang selalu jadi korban melulu perempuan? Adakah laki-laki ketakutan ketika berjalan seorang diri dalam hening malam? Adakah laki-laki menganggap biasa ketika perempuan mengenakan rok mini? Adakah lelaki tak mau tahu lagi tentang isi selangkangan perempuan? Bisakah wanita merdeka untuk bicara apapun tentang tubuhnya, memamerkan tubuhnya tanpa embel-embel hasrat atau berahi?

Persoalan wanita dan pakaiannya kerap dijadikan sebab. Kemudian korban pelecehan seksual atau pemerkosaan yang kebetulan korbannya adalah perempuan, lagi-lagi yang disalahkan adalah tentang pakaiannya. Lalu, beramai-ramai orang berkomentar "Masa gadis baik-baik pulang dini hari" "Gimana ga nafsu penjahat lihat paha bertebaran begitu?" dan gunjingan-gunjingan lain yang melulu menyalahkan perempuan. 

Bahkan perempuan sendiri tak berpihak pada korban pelecehan atau pemerkosaan yang masih kaumnya. Mereka meyakini jika lelaki hanya akan datang ketika diundang. Salah satunya, diundang lewat pakaian "seksi" itu.

Apakah perempuan sudah sepenuhnya merdeka dari ektremisme ini? Kita hampir gila memerangi ini. Indonesia dengan jumlah perempuannya yang lebih banyak tak pernah cukup untuk membungkam aksi kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan. Belum lagi, perempuan-perempuan lainnya ikut merundung kaumnya dengan terbuka dan sadar. Sekali lagi, kita hampir gila.

Saat berkendara, naik angkot, mengantri, tubuh perempuan menjadi hal lain yang nikmat sebagai pelampiasan. Sebegitu menawankah tentang punggung, bokong, pinggang, panggul atau aroma rambut wanita, hingga lelaki mesti melakukannya saat itu juga, dalam diam, juga disaksikan puluhan orang hanya untuk meyakini hal itu?

Haruskah perempuan tinggal dalam hunian tak berpenghuni atau tinggal dalam satu koloni yang isinya melulu perempuan agar terhindar dari kekerasan yang ekstrem ini? Sebegitu peliknya soal kekerasan itu. Namun Indonesia kurang garang menuntaskannya. Begitu ada korban, peraturan, kebijakan, dan tulisan media ramai-ramai membahasnya agar terlihat paling mahir. Setelah itu, perempuan apalagi korbannya akan kembali terasing atau malah sengaja diasingkan.

Ketika saya menulis ini, saya mengingat kisah tragis yang terjadi tahun 2017 di Bali pada seorang perempuan yang juga seorang istri. Tahun pasti berganti, tetapi luka fisik dan batin perempuan penyintas yang kehilangan satu kakinya akibat kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya akan tetap membekas. Mungkin, perempuan itu saat ini masih kesakitan karena kakinya ditebas dengan parang hingga putus oleh suaminya sendiri. Suaminya sendiri. Kejadian naas itu terjadi di bulan September tahun 2017. 

Kejadiannya itu memang berlalu, namun batin perempuan itu belum mampu memaafkan. Kisah penyintas kekerasan dalam rumah tangga ini harus berbicara lagi mengenai kejadian yang membuatnya trauma. Baginya tak apa untuk mengingat luka sebab ia tak mau ada perempuan-perempuan lainnya yang turut menjadi korban kengerian ini. Setiap perempuan harus berdaya. Perempuan harus punya insting terhadap hal-hal yang mungkin saja melukainya. Perempuan juga harus kuat menghadapi kenyataan hidup. Menerima bahwa orang yang paling dicintai atau orang yang paling mencintainya, mungkin saja bisa berubah menjadi orang paling menyakiti.

Entah apa yang terjadi di tahun 2017 silam. Alasannya, hanya karena cemburu buta, lalu sang suami bisa melakukan apapun. Termasuk memotong kaki istrinya sendiri dengan sadar. Pemotongan disertai kekerasan ini dilakukan di depan matanya sendiri bahkan disaksikan oleh anak-anaknya. Sungguh, luka batin yang tidak mudah untuk disembuhkan. Pernah sebelumnya, Putu Kariani disulut lehernya menggunakan puntung rokok sebab emosi. Pernah pula suaminya melakukan simulasi menyayat kaki dan perut Kariani. Kariani sempat merasa takut jika hal itu sungguhan terjadi padanya. 

Namun, Kariani berpikir bahwa itu suaminya. Tak mungkin melakukan perbuatan sekeji itu padanya. Tragisnya setelah kedua kaki Putu Kariani tersayat, bersimbah darah, nyaris putus, suaminya berteriak seolah perbuatan itu tidak pernah dilakukannya. Dengan sadar sang suami pun membonceng istrinya dan mengantarnya ke rumah sakit sambil terus melontarkan rasa bersalahnya. Apakah semua kekerasan yang harus ditanggung perempuan ini bisa diselesaikan dengan kata maaf?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline