Lihat ke Halaman Asli

Gedung Kesenian : Multi-purpose hall atau Recital Hall

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada umumnya, setiap provinsi bahkan kabupaten/kotamadya di Indonesia ini memiliki apa yang disebut sebagai Gedung Kesenian. Hal ini berkaitan dengan upaya dari masing-masing daerah untuk menggairahkan bidang keseniannya masing2 disamping juga sebagai pelengkap infrastruktur fisik daerah. Apapun tujuannya itu, dari definisinya tentunya sudah dapat diketahui bahwa sarana infra-struktur ini semestinya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menunjang perkembangan budaya daerahnya.

Meskipun dari sisi fungsionalnya sudah cukup banyak dan umum diketahui, namun pada kenyataannya pemilik bangunan, perencana, pemakai (dalam hal ini senimannya) dan juga masyarakat belum memahami dengan baik komponen2 fisik yang menunjang fungsionalitas gedung kesenian tersebut. Disamping sebagai bangunan yang dapat melindungi pemakainya dari panas teriknya matahari maupun guyuran hujan, faktor kenyamanan fisik juga sangat menentukan fungsi dari Gedung Kesenian itu. Faktor2 fisik itu antara lain kondisi pencahayaannya, kondisi temperatur & kelembaban udaranya, tata-letak, ventilasinya dan juga kondisi akustiknya. Kondisi akustik dari bangunan Gedung Kesenian sebenarnya perlu mmendapat perhatian yang serious, karena dari sisi fungsi, medium komunikasi yang ada antara 'performer' dan 'audience' hanya berbentuk visual dan audio.

Mengingat variasi 'performance' yang biasa dilakukan di dalam gedung kesenian, maka pada umummnya kondisi akustiknya sesuai dengan kriteria 'multi-purpose hall'. Dari sisi pemanfaatannya, set-up seperti ini akan memberikan fleksibilitas yang baik agar Gedung Kesenian itu dapat menghasilkan 'income'. Set-up ini juga mengandalkan kepada 'performance' dari seluruh komponen sistem tata suara (yg umum mesti terpasang pada 'multi-purpose hall'). Karena terlalu menekankan kepada pemanfaatan sistem tata suara, maka 'kesan' yang berhasil diberikan kepada 'audience' tidak maksimal. Hal ini disebabkan karena dalam kesehariannya 'audience' sudah terbiasa mendengarkan 'performance' dari sarana elektronik berupa sistem audio di rumah, TV atau 'home theatre' (misalnya). Hal yang lebih menyedihkan juga sering terjadi, misalnya secara akustik gedung kesenian itu tidak dirancang secara benar & tepat seperti 'multi-purpose hall' sehingga memiliki banyak 'cacat akustik' atau juga set-up sistem tata suaranya (dari penempatan speaker, jenis speaker, kualitas komponen2nya sampai kepada set-up mixing) yang tidak baik. Hal ini tentunya akan memberikan dampak yang negatif kepada 'audience', bukan hanya kepada 'performer' yang tampil disana, tetapi juga kepada gedung keseniannya sendiri. Apalagi jika untuk menonton pertunjukan di Gedung kesenian itu, 'audience' mesti membayar mahal.
Terabaikannya perhatian kepada masalah akustik dari suatu gedung kesenian, pada umumnya akan berakibat fatal yaitu tidak optimalnya pemanfaatan gedung itu sesuai dengan fungsinya. Tidak jarang akhirnya banyak gedung kesenian yang berubah fungsi menjadi gedung latihan olah raga (bulu tangkis, misalnya), sebagai akibat dari ketidak sempurnaan dari pemakaiannya utk pertunjukan seni.
Jika akibat tidak optimalnya pemanfaatan gedung kesenian itu disadari oleh pemilik gedung (dalam hal ini, mungkin PemDa-nya) biasanya dilakukan upaya me'renovasi' fisiknya. Jika dilakukan renovasi berbasis kepada kondisi akustiknya, tidak jarang solusi yang timbul akan berdampak kepada 'harga'nya yang mahal sehingga secara 'politis' mungkin sulit untuk diimplementasikan. Permasalahan perlu atau tidaknya dilakukan 'renovasi' kepada suatu gedung kesenian yang 'tidak populer itu' akhirnya akan menjadi semacam 'buah simalakama' bagi PemDa-nya.

Satu solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan menempatkan semua aspek fisika yang berpengaruh pada posisi yang seimbang di saat gedung kesenian itu berada pada posisi perancangan. Hal ini akan dapat mencegah terjadinya 'kesalahan design' di masa mendatang. Sementara itu, untuk Gedung kesenian yang sudah ada dan utilisasinya belum optimal sesuai dengan fungsinya maka perlu dilakukan 'renovasi'. Sama dengan kondisi tahap perancangan, untuk perencanaan 'renovasi' inipun, semua aspek fisika yang berpengaruh (akustik, lighting, 'air quality', ventilasi, arsitektur, interior sampai kepada masalah 'safety') sangat perlu untuk dipertimbangkan. Optimasi dari semua aspek perlu dipikirkan dan dibuat semacam 'master plan'nya sehingga akibat adanya keterbatasan dana, pelaksanaan renovasi tidak bersifat 'tambal sulam'. Dari sisi objektif design yang dapat diusulkan adalah menempatkan gedung kesenian sebagai 'recital hall' yaitu semacam 'concert hall' yang berukuran kecil (kapasitas penonton beberapa ratus orang) dengan karakteristik akustik yang spesifik, sehingga dapat menunjang perkembangan seni musik yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Perlu ditekankan juga bahwa pemanfaatan sistem tata suara mesti diupayakan seminimal mungkin agar 'performer' dapat meningkatkan 'skill seni'nya secara optimal dan 'audience' memperoleh kondisi medan suara yang bersifat unik dan alamiah.

Bagaimana dengan Gedung Kesenian di kota anda..?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline