Lihat ke Halaman Asli

Widiyatmoko

TERVERIFIKASI

Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Benarkah Pemerintah Dapat Turunkan Harga Tiket Pesawat?

Diperbarui: 16 Juli 2024   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar : Kompas.com

Situs berita Kompas.com pada tanggal 14 Juli 2024 menampilkan berita bertajuk "Luhut: Harga Tiket Pesawat di Indonesia Termahal ke-2 Dunia", walau berita mengenai tingginya harga tiket pesawat di Indonesia memang bukanlah berita "fresh from the oven" tapi isi berita kali ini sungguh menarik.

Dalam berita tersebut, Bapak Luhut menyatakan beberapa hal yang menyebabkan harga tiket pesawat di Indonesia termahal kedua di dunia setelah Brazil.

Ada dua hal yang sepertinya perlu didalami lanjut yaitu yang pertama adalah tingginya harga tiket pesawat dikarenakan pulihnya aktivitas penerbangan yang sudah mencapai 90% dari kondisi sebelum pandemi dan hal yang kedua adalah cost per block hour (CBH).

Sebagai informasi, biaya per Block Hour adalah biaya yang timbul saat pintu pesawat ditutup di bandara keberangkatan (off block) hingga ketika pintu pesawat terbuka di bandara kedatangan (on block).

Untuk hal yang pertama adalah memang benar saat ini aktivitas penerbangan sudah pulih 90% dari kondisi pre pandemi sehingga terjadi lonjakan jumlah pelaku perjalanan dan wisata setelah pandemi, lonjakan ini dapat diartikan sebagai tanda kembalinya para pelaku perjalanan dan wisata mengisi kursi kursi penerbangan dimana sebelumnya mereka tidak bisa melakukan perjalanan selama Pandemi.

Jika kursi kursi penerbangan yang disediakan oleh maskapai juga sama dengan jumlah kursi sebelum pandemi maka kembalinya para pelaku perjalanan dan wisata tersebut dapat diakomodasi oleh para maskapai sehingga secara hukum pasar tidak ada pemicu untuk terjadinya kenaikkan harga.

Namun ketika armada maskapai berkurang karena pihak maskapai mengembalikan beberapa pesawatnya kepada pihak leasing saat pandemi maka jumlah kursi tersebut jelas akan berkurang yang secara hukum pasar berarti ketersediaan kursi lebih sedikit dari permintaan, akibatnya harga akan naik.

Jika kita melihat jejak digitalnya, maskapai maskapai kita ada yang mengembalikan pesawatnya kepada pihak leasing, akibatnya pihak maskapai akan mengalami kekurangan armada (baca : ketersediaan kursi) baik secara frekuensi maupun jumlah rute penerbangan, dalan kata lain frekuensi penerbangan ke beberapa rute akan berkurang dan juga ada beberapa rute yang tidak lagi dapat dilayani.

Pada pemberitaan situs Kompas.tv (21 November 2021l) menyebut bahwa pada tahun 2022 akan ada pengurangan armada Garuda Indonesia sebanyak 68 pesawat, kondisi ini juga menyebabkan pengurangan jumlah rute yang akan dilayani Garuda Indonesia dari 237 rute sebelum Pandemi menjadi hanya 140 rute.

Pengurangan pesawat sebanyak 68 pesawat ini jelas mengurangi ketersediaan kursi dari Garuda Indonesia dalam melayani penerbangan ke rute rute dalam jaringannya, ini karena tingkat utilisasi armadanya (fleet utilization) menurun..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline