Lihat ke Halaman Asli

Widiyatmoko

TERVERIFIKASI

Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Sengketa Lahan Tidur di Destinasi Wisata

Diperbarui: 2 Januari 2023   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pantai di Gili T (foto: pixabay.com)

Pengelolaan aset negara berupa tanah yang berlokasi di destinasi wisata adakalanya menimbulkan pernasalahan serta membuat negara harus beradu argumen secara langsung dengan rakyatnya sendiri.

Kasus seperti Kepulauan Widi dan Gili Trawangan (Gili T) mungkin hanya dua dari banyaknya kemungkinan permasalahan yang bisa ataupun sudah berlangsung lama namun belum terindikasi.

Lahan tidur di destinasi wisata sebenarnya dapat dikatakan sebagai opportunity cost pada pariwisata  karena jika lahan tersebut dikembangkan untuk kegiatan wisata maka akan membawa manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar dan bisa turun menurun.

Entah apakah hal ini sudah diidentifikasi atau belum oleh pemilik tanah, namun perlu disadari bahwa jika status "tidur"dibiarkan dalam waktu yang panjang dapat menciptakan permasalahan baru bila destinasi wisata tersebut mengalami kemajuan pesat dalam jumlah kunjungan wisatawan.

Hal ini karena akan lebih banyak penginapan yang dibutuhkan untuk akomodasi wisatawan yang bertambah dan lainnya, dan bila tidak ada lahan yang tersisa lagi maka lahan tidur bisa menjadi peluang bagi " beberapa" pihak.

Peluang disini bisa sebagai kesempatan tetapi juga bisa sebagai "playground" bagi oknum oknum atau pihak pihak yang melihat adanya celah untuk mendapatkan keuntungan (berlipat lipat).

Dan ketika komitmen pihak ketiga dalam perjanjian tak kunjung dipenuhi, staus tanah sebagai milik negara yang sebenarnya sudah menjadi object dari  kerjasama dengan pihak ketiga justru bisa menjadi sumber pendapatan dari pihak pihak yang sebenarnya justru tidak termasuk dalam perjanjian.

Keadaan dapat memburuk ketika kemudian adanya kemungkinan akan lahan tersebut disewakan dengan mematok harga sewa yang fantastis yang nilainya justru berkali kali lipat lebih besar dari nilai royalty dari pihak ketiga dalam perjanjian kerjasama.

Dan ironisnya keadaan ini tidak terdeteksi oleh pemilik tanah yang sah baik yang berada di pekarangannya sendiri majpun yang jauh sebagai pusatnya walau setelah sekian tahun lamanya.

Salahkah pihak pihak yang melakukan ini ?
Dari kacamata hukum iya karena mereka membangun ataupun menyewakan lahan yang bukan miliknya dan tidak berijin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline