Sebelumnya, saya mohon izin memberitahu bahwa sebenarnya, saya memiliki pendapat yang pro-mosi, pendapat yang setuju dengan mosi tersebut. Namun, dikarenakan tuntutan penugasan AMERTA, saya memaksa cara berpikir saya untuk kontra-mosi, tidak setuju dan berkebalikan dengan mosi tersebut. Sayang sekali, saya menemukan celah yang tepat untuk melawan mosi ini, untuk membantah program tersebut.
Perlu diketahui; di tahun 2023 ini, proyek pembangunan dalam skala besar di beberapa tempat--terutama di daerah-daerah atau kota maju yang padat penduduk--mulai diselenggarakan lagi. Yang menjadi kekhawatiran saya: proyek-proyek ini akan semakin menutup dan menyusahkan generasi milenial untuk mencari/membangun rumah mereka sendiri. Beberapa berpikir: "Wah, di Kalimantan masih ada banyak lahan kosong! Bangun rumah di sana, ah!" sebelum melanjutkan, tolong kesampingkan ide bahwa daerah tersebut sejatinya termasuk daerah yang tidak semestinya direklamasi. Tapi apa benar, sebaiknya 'deforestasi ramah' tersebut diberikan kepada projek ambisius semacam itu? Bukannya sebaiknya dijadikan media pemerataan penduduk? Ada suatu cara untuk mencegah kenaikan air laut di Ibu Kota Jakarta: mengurangi emisi gas rumah kaca. Alih-alih membuka lahan baru yang malah berdampak pada peningkatan masalah iklim, sebaiknya dialihkan untuk menambah fasilitas angkutan umum dan sosialisasi berkelanjutan mengenai dampak emisi gas rumah kaca. Dengan ini, kita sebenarnya menyelesaikan beberapa masalah: Emisi gas rumah kaca yang menjadi salah satu penyebab kenaikan air laut; pemerataan fasilitas angkutan umum yang memotong biaya hidup masyarakat sekaligus pembukaan lapangan kerja di bidang tersebut dan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi; persebaran penduduk yang merata sekaligus meningkatkan investasi domestik; akulturasi dan pengenalan budaya dengan penduduk setempat, membuat mereka lebih terbuka dan menerima penduduk yang berasal dari luar daerah mereka.
Untuk menyederhanakan topik, mari kita alokasikan bahwa jumlah pohon yang ditanam menjadi salah satu faktor yang memengaruhi emisi gas rumah kaca dengan semakin banyak pohon yang ditanam akan semakin mengurangi emisi gas rumah kaca. Penyelenggara Proyek Pemindahan IKN ini memang berusaha untuk 'mereboisasi' lahan yang digunakan pembangunan tersebut selesai dilaksanakan, namun hal tersebut tidak akan menjamin efektivitas reboisasi nantinya. Boleh jadi, lahan yang tersisa setelah pembangunan tidak akan sama besarnya dengan lahan sebelum pembangunan, yang mana akan mengurangi pohon yang ditanam nantinya. Demikian pula jenis pohon yang akan ditanam nantinya. Tanaman hias akan kurang membantu dalam mengurangi efek rumah kaca, mengingat ukurannya yang tidak sebesar pohon-pohon habitat asli sebelumnya. Belum lagi, ketika IKN baru telah diresmikan dan sudah terbuka untuk publik, maka akan menambah emisi karbon dari kendaraan bermotor masyarakat. Hal-hal ini perlu ditekankan, mengingat usaha reboisasi yang (mungkin akan) dilaksanakan belum tentu dapat mengurangi atau bahkan mengimbangi emisi yang ditimbulkan nantinya.
Jangan lupa dengan generasi-generasi selanjutnya setelah generasi milenial. Andai kata generasi sekarang berhasil atau mampu mendapatkan lahan yang layak untuk pembangunan tempat tinggal, belum tentu generasi di masa mendatang akan mampu untuk mendapatkannya, mengingat dalam beberapa tahun ke depan, laju pertumbuhan penduduk di Indonesia akan semakin meningkat, dan memungkinkan kepadatan penduduk yang akan bertambah apabila pemerintah tidak memutuskan untuk mencari solusi hal tersebut. Satu yang saya tawarkan: tempat tinggal bersusun, di mana dalam lahan dengan skala kecil, dibangun sebuah bangunan yang dapat memuat banyak kepala keluarga sekaligus, layaknya apartemen atau kos namun dengan kapasitas per-keluarga.
Untuk menyimpulkan, ada baiknya anggaran Proyek IKN baru ini dialihkan ke upaya lain dalam mengurangi perubahan iklim yang gratis dan fasilitas umum untuk masyarakat, di mana hal tersebut dapat mengurangi permasalahan kepadatan penduduk sekaligus mengurangi efek gas rumah kaca.
Sumber referensi:
1. Tari Oktaviani, Nibras Nada Ailufar. Pro Kontra Pemindahan Ibu Kota Negara, Kompas.com. 2023.
2. Desy Kristi Yanti, Sakinah Rahma Diah Setiawan. Ibu Kota Pindah, Milenial Makin Sulit Punya Rumah?, Kompas.com. 2023
3. Rony Adolof Buol. Mencari Cara Mengendalikan Air Laut, zonautara.com. 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H