Lihat ke Halaman Asli

Utopia Rumah Murah

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13772287502060846805

Persoalan hunian tidak sekedar menyangkut kepentingan bisnis. Perumahan adalah masalah kompleks yang tidak hanya terkait soal ekonomi namun juga menyangkut segi politik, sosial, budaya, hukum, dan keamanan (Blaang, 1986). Dapatlah dikatakan bahwa persoalan perumahan adalah sekompleks persoalan manusia yang menjadi penghuni sebuah rumah.

Kompleksitas inilah yang kemudian menjadi sebab perlunya tanggung jawab negara untuk mengaturnya. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pengejawantahan negara menjalankan amanat konstitusi untuk menyejahterahkan rakyat.

Sayangnya, masyarakat yang hendak mendapatkan rumah menemui berbagai kesulitan. Bagi yang memilih membangun rumah sendiri, soal perijinan dari birokrasi berbelit tanah air menjadi halangan nyata. Status kepemilikan tanah yang simpang-siur, dan Badan Pertanahan Nasional yang kurang profesional, Notaris yang serampangan menjadi soal-soal sehari-hari yang tidak sulit ditemui. Dari pengamatan penulis di beberapa Pengadilan Negeri, persoalan tanah lah yang banyak mewarnai sengketa di Pengadilan.

Tentunya, soal birokrasi dan hukum bukanlah satu-satunya soal. Bagi yang memilih untuk membeli rumah, masalah pemodalan juga tidak jarang membuat runyam. Terutama untuk rumah-rumah di perkotaan dan sentra bisnis, harganya sungguh mustahil untuk dijangkau keluarga baru yang sebenarnya merupakan pihak yang paling membutuhkan rumah.

Dualitas Kepentingan

Persoalan rumah tidak akan dapat dipisahkan dari permasalahan mengenai tanah. Hukum pertanahan Indonesia, menginduk pada UU Agraria. Dalam UU Agraria, sangat kental suasana sosialisme dan kepentingan rakyat kecil, petani, menjadi suatu agenda utama. Tanah tidak hanya dipandang sebagai penguasaan individu tetapi juga memiliki fungsi sosial (Harsono, 2007).

Konsepsi ini sejalan dengan hukum adat yang semangatnya juga diakomodir UU Agraria. Hukum Adat memandang tanah sebagai ibu sehingga memaknai tanah sebagai sumber kehidupan dan sungguh sakral, apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang adalah masyarakat agraris. Tanah harus diusahakan aktif dan dimiliki oleh orang yang benar-benar mengusahakannya. Tanah, dengan demikian, sejak semulanya bukanlah ditujukan sebagai pemenuhan keserakahan melainkan kebutuhan.

Sayangnya, nilai-nilai yang ditanamkan dalam UU Agraria ini diabaikan dalam perkembangan kita sebagai bangsa. Kini, tanah hanyalah dianggap sebagai investasi. Inilah yang menjadi konsern utama kita sehingga mengabaikan esensi sosial dan budaya yang berjumbuh pula dan tanah yang pula berimplikasi pada rumah. Maka, akibatnya kini tanah dan rumah hanya dimaknai sebatas kepemilikan kapital.

Hal ini  tentu membuat adanya jarak antara cita-cita pemanfaatan tanah dengan praktek di lapangan. Ada ngarai yang begitu besar terbentang yang memisahkan rakyat dengan tujuan mulia bangsa ini. Dalam pasal 1 UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, rumah didefinisikan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Bahkan Sudarsono mendefinisikan rumah tidak ganta sebagai tempat bernaung untuk melindungi diri dari bahaya fisik tetapi juga tempat beristirahat setelah menjalani perjuangan hidup sehari-hari (Soedarsono, 1986). Namun, dalam praktek kini, agaknya rumah lebih cocok didefinisikan sebagai tempat hunian uang dan sarana pembinaan finansial serta tempat bernaungnya kapital dari bahaya inflasi.

Pergeseran ini menjadikan paradigma tanah sebagai ibu yang harus dihormati dan dihargai akhirnya luntur. Kini, tanah seumpama pelacur, siap sedia digilir kepada siapa saja yang sanggup untuk membayar. Akhirnya, harga yang sewenang-wenang dan pengambilan keuntungan sesuka hati pemilik tanah menjadi hal yang wajar, dan justru keanehan apabila harga tanah dijual murah. Kalau tanah sebagai komponen dasar untuk menghadirkan rumah sudah tidak terjangkau, tidaklah heran harga rumah pun sungguh mahal.

Pemahaman kita mengenai tanah yang sudah bergeser inilah yang menjadi akar masalah. Maka, entah itu aturan kredit dari Bank Indonesia atau bahkan pencetakan rumah baru sebanyak-banyaknya dari Kementerian Perumahan Rakyat tidak akan dapat menjawab masalah.

Peran Negara

Tingginya harga properti yang semakin menjadi persoalan, tidak hadir secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan karena bangsa kita sudah sejak jauh-jauh hari abai terhadap soal hukum dan budaya. Untuk itu, peran Negara mutlak diperlukan untuk mengembalikan fungsi tanah dan rumah ke tujuan asalnya.

Pertama, Negara harus sadar bahwa menghadirkan tanah dan rumah terjangkau bukanlah sebuah agenda ekonomi semata. Negara harus menyadari agenda kebudayaan yang sudah lama ditinggalkan bangsa ini. Tata ruang sebuah kota dan pemanfaatan tanah tak produktif merupakan jalan keluar. Tanpa tata kota yang baik, mustahil hadir hunian-hunian yang harganya terjangkau namun tetap memanusiakan penghuninya.

Saat ini, satu-satunya cara untuk mendapat hunian terjangkau adalah dengan tinggal di pinggiran kota, di belantara hutan yang jauh dari peradaban. Apa artinya rumah murah jika ongkos transport yang harus ada karena tinggal di tempat tersebut ternyata bisa digunakan untuk mencicil satu rumah lagi?

Pengurusan pemukiman tidak bisa diserahkan kepada satu atau dua dinas tingkat provinsi apalagi kabupaten. Pembangunan pemukiman memerlukan kebijaksanaan yang menyeluruh dengan program terpadu yang memerlukan tidak sekedar kebijaksanaan pembiayaan perumahan, tetapi juga birokrasi yang efektif, kebijakan di bidang manajemen dan sistem informasi, peningkatan dan pengembangan industri konstruksi dan bahan bangunan, sampai soal ketenagakerjaan dan partisipasi masyarakat (Batubara, 1986).

Kedua, diperlukan keseriusan politis untuk memandang soal tanah. Saat ini, hampir tidak ada calon Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden yang memiliki keberpihakan yang nyata soal perumahan. Sangat sedikit bahkan hampir nihil pemimpin daerah dan nasional yang mengangkat penyediaan rumah sebagai kampanye politiknya.

Kebanyakan monoton hanya membebek mengurusi kesehatan dan pendidikan. Padahal, bagaimana rakyat bisa sehat dan terdidik tanpa kehadiran hunian yang layak? Tanpa kehadiran perumahan yang layak akan timbul banyak sekali ketegangan sosial (Teh Cheang Wan, 1986). Maka, rakyat kini menunggu kehadiran negara lewat kepekaan para pemimpinnya untuk mengurus soal hunian. Tanpanya, kehadiran hunian yang layak bagi rakyat adalah utopia belaka.

(Artikel merupakan naskah asli, telah diterbitkan pada kolom Opini Kontan, 27 Juli 2013)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline