Lihat ke Halaman Asli

Eradikasi Politisasi Penetapan Upah

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13772296971534241156

Presiden Yudhoyono menjanjikan hari buruh sebagai hari libur nasional. Sesuatu yang Beliau anggap sebagai hadiah bagi para buruh. Namun, sungguhkah itu hadiah yang hakiki?

Selama ini, hari buruh selalu diikuti bayang-bayang kelam aksi para buruh di jalanan. Demonstrasi besar-besaran, sweeping buruh, dan aksi-aksi yang kadang simpatik kadang tidak berusaha menyuarakan satu hal: perbaikan nasib buruh. Hal-hal seperti penghapusan outsourcing dan kenaikan upah minimum menjadi tuntutan langganan.

Praktek kebanyakan perusahaan yang mempekerjakan tenaga-tenaga alih daya selalu diikuti dengan kesediaan perusahaan alih daya membayar pekerjanya sesuai standar UMP, tidak lebih bahkan cenderung kurang. Jadi, kenaikan upah minimum dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk memaksa perusahaan membayar lebih gaji para pekerja.

Hal ini hanya menunjukkan anomali perburuhan Indonesia. Baik pengusaha ataupun pekerja berusaha saling memperdaya bukannya memberdayakan. Ternyata, kebijakan pengupahan selama ini tidak memuaskan semua pihak.  Semua ini terjadi tidak lepas dari pola penentuan upah yang dianut Indonesia.

Pola Penentuan

Penentuan pengupahan menyangkut praktek yang luas dan variatif. Berdasarkan letak kekuasaan pembuatan keputusan, dapat dibedakan menjadi empat pola dasar, yaitu: mekanisme pengambilan keputusan dilakukan oleh legislator, eksekutif departemen pemerintah, dewan dengan kewenangan rekomendasi, dan dewan dengan kewenangan memutus suatu keputusan yang final (Kertonegoro, 2000).

Pada pola pertama, penetapan pengupahan yang dilakukan melalui proses legislatif, dilakukan oleh Amerika Serikat. Pola ini mendapatkan kritik sebagai pola yang tidak fleksibel dan memakan waktu yang lama.

Pola kedua, penetapan pengupahan dilakukan oleh eksekutif umumnya menganut praktek bahwa pemerintah sebelum mengambil keputusan berkonsultasi terlebih dulu dengan lembaga konsultasi tripartit. Kritik atas pola ini, yaitu konsultasi tripartit hanya menjadi formalitas belaka karena saran pihak-pihak berpengaruh kecil atas keputusan-keputusan yang diambil. Inisiatif penetapan upah minimum sepenuhnya berada ditangan pemerintah.

Pola ketiga, yaitu membentuk suatu dewan pengupahan yang sifatnya rekomendatif. Dewan ini merekomendasikan tingkat upah minimum yang akan diputus pemerintah dan menentukan pula sampai seberapa jauh hal itu dapat dimodifikasi pemerintah. Melalui pola ini, pemerintah hanya bisa menerima atau menolak usulan dan tidak bisa mengubahnya.

Pola keempat, membentuk suatu dewan pengupahan yang memiliki tanggung jawab penuh untuk menetapkan upah minimum. Pemerintah hanya menegakkan saja agar ketentuan pengupahan dipatuhi.

Berdasarkan pola-pola ini, Indonesia termasuk dalam Pola yang kedua. Pengupahan dilakukan oleh eksekutif dengan memperhatikan pertimbangan yang diberikan oleh Dewan yang terdiri dari pemerintah, pengusaha, dan pekerja.

Dalam hal ini, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menetapkan dan mengatur pelaksanaan upah minimum sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Pasal 89 (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi.

Peninjauan upah minimum di Indonesia dilakukan satu kali dalam setahun (Pasal 4 ayat (7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-226/MEN/2000). Maka, tidak heran apabila tuntutan kenaikan upah menjadi agenda tahunan dan akhirnya membuat limbung perhitungan dagang para pengusaha. Implikasinya, timbul ketidakpastian hukum dalam hal pengupahan di Indonesia.

Juga, penetapan pengupahan yang dilakukan setiap setahun sekali rentan dijadikan alat kamapanye oleh kepala daerah untuk pemenangan pemilu. Hal ini disebabkan karena kewenangan penetapan upah minimum berada di tangan kepala daerah. Akibatnya, upah buruh seperti air di atas daun talas.

Dengan adanya kewenangan tersebut, pengupahan bisa dijadikan sarana untuk mendulang dukungan. Akibatnya, penentuan upah minimum tidak lagi proporsional. Implikasinya, terjadi ketidakadilan sehingga merusak esensi hukum yang identik dengan keadilan itu sendiri (Rawls, 1971).

Mengubah Pola

Nasib buruh yang lebih baik memang menjadi tujuan yang ideal. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa menjadi justifikasi bagi perlakuan sewenang-wenang terhadap pengusaha. Seharusnya, kepentingan politis disterilisasi dari proses penentuan tingkat upah minimum.

Selama ada korelasi yang sangat erat antara proses penetapan upah buruh minimum tahunan dengan agenda pendulangan suara, proses penetapan upah buruh tidak akan objektif. Hal inilah yang oleh Mattei dikategorikan sebagai korupsi dalam political legal pattern di Indonesia, yaitu terjadi intervensi politik pada proses pengambilan keputusan yang seharusnya independen (dalam Lindsey & Masduki, 2002). Implikasinya, pengusaha akan kesulitan untuk mengelola modal yang telah diinvestasikan.

Melihat ini semua, penentuan upah minimum tahunan merupakan sebuah kebijakan simalakama. Di satu sisi memang baik untuk melakukan penyesuaian dengan kebutuhan hidup pekerja, tetapi di sisi lain rentan disalahgunakan oleh kepala daerah. Jadi, perlu dilakukan pengubahan pola pengupahan dari yang tadinya dilakukan secara tahunan menjadi jangka waktu yang lebih panjang seperti lima tahunan atau sepuluh tahunan.

Artinya, dalam jangka tersebut dibuat patokan batas terbawah dan tertinggi. Pada akhir tahun ke lima atau sepuluh, diharapkan upah buruh sudah mencapai batasan tertinggi dan hal ini sudah diantisipasi pengusaha. Dengan penetapan untuk jangka waktu lebih panjang dan gradual, hal ini akan membantu pengusaha dalam melakukan manajemen dan penghitungan biaya yang harus dikeluarkan. Dengan cara ini, pengusaha dan buruh bisa sama-sama tenang.

Selain itu, perlu pula dilakukan perubahan pola penetapan dari oleh eksekutif menjadi suatu dewan yang sifatnya rekomendatif. Dengan cara itu, kepentingan politik eksekutif bisa dikekang dan diarahkan ke jalur yang benar. Inisiatif bukan datang dari kepala daerah tapi dari suatu dewan yang rasional.

Jika hal ini dilakukan, itulah hadiah sesungguhnya bagi para buruh. Dunia usaha dan buruh tidak butuh sederetan seremoni untuk menunjukkan betapa mereka sungguh berarti. Jadi, lepaskanlah keberpihakan yang tidak proporsional. Pengusaha dan buruh harus sama-sama dirangkul.

(Artikel merupakah naskah asli, telah dipublikasikan pada kolom Opini Kontan, 29 Mei 2013)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline