Lihat ke Halaman Asli

UMP Tinggi Bukan Solusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Belum lagi habis tahun 2013, wacana kenaikan upah minimum bagi para pekerja untuk tahun 2014 sudah dimulai. Tidak tanggung-tanggung, besarnya kenaikan 50%. Jumlah yang fantastis. Kenaikan upah yang lumayan besar ini diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja yang semakin terhimpit dengan beratnya ongkos hidup.

Bahwa harga barang-barang kebutuhan pokok yang tidak ramah bagi kantong, harga bahan bakar yang tinggi dan turut mengatrol harga-harga barang, tentunya menjadi persoalan nyata. Jika pendapatan konstan namun pengeluaran meningkat, otomatis terjadi kesulitan untuk bertahan hidup. Caranya tentu jika tidak menurunkan pengeluaran, adalah dengan meningkatkan pendapatan. Jadi, menuntut kenaikan upah minimum adalah solusi yang logis.

Sayangnya, aspek pengupahan tidak hanya harus mempertimbangkan pekerja, tetapi juga pengusaha. Masalahnya, upah pekerja termasuk dalam ongkos produksi perusahaan. Artinya, semakin besar upah, semakin besar pula biaya yang timbul untuk memproduksi suatu komoditas. Jika besarnya biaya bertambah namun harga jual konstan, artinya laba perusahaan menurun. Singkat kata, perusahaan pun merugi.

Tarik menarik kepentingan seperti ini yang selalu mewarnai perdebatan mengenai soal pengupahan. Seolah, menaikkan upah menyelesaikan seluruh masalah dan tidak menaikkan upah akan mempermudah persoalan. Padahal, apabila dilihat tuntutan upah minimum yang tinggi ini adalah puncak gunung es dari persoalan struktural yang menimpa dunia ketenagakerjaan kita. Masalah struktural inilah yang harusnya diselesaikan.

Persoalan Struktural

Kenaikan upah minimum menjadi satu-satunya jalan yang dirasakan para pekerja sebagai jalan keluar akibat pelitnya perusahaan dalam melakukan pengupahan. Parahnya lagi, tidak ada jalur yang jelas tentang masa depan para pekerja. Sekali buruh tetap buruh, hampir mustahil mendaki jenjang karir yang lebih tinggi.

Kenyataan di lapangan menunjukkan praktek kontrak masih terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pengalaman ini hampir pasti terjadi di perusahaan-persahaan dalam memperlakukan karyawan baru. Karyawan dikontrak selama setahun dengan status karyawan kontrak. Dalam masa-masa kontrak ini, sangat jarang perusahaan mau memberikan upah diatas UMP, kalaupun ada hanya sedikit di atas UMP. Sebagai karyawan kontrak tentunya fasilitas yang didapat tidak seperti karyawan tetap.

Setelah masa kontrak satu tahun berakhir, alih-alih peningkatan status sebagai karyawan tetap terjadi yang ada justru perpanjangan kontrak. Modusnya, pegawai yang sama tinggal diganti saja nomor induk kepegawaiannya sehingga secara sistem sang pegawai adalah orang baru. Karyawan tentu tak berdaya, melawan artinya kehilangan pekerjaan namun kompromi berarti kesejahteraan minim.

Kondisi inilah yang akhirnya memaksa para pekerja untuk meminta kenaikan upah minimum. Pertimbangannya sederhana saja, kalaupun digaji sesuai UMP paling tidak UMP-nya naik, artinya gaji pun otomatis naik. Persoalan struktural seperti inilah yang mengakibatkan riak-riak ketidakpuasan pekerja berubah menjadi gelombang tsunami tuntutan kenaikan gaji.

Selain itu, aturan ketenagakerjaan dituruti secara normatif minus inisiatif. Selagi aturan mensyaratkan fasilitas bagi pekerja seperti asuransi, maka perusahaan wajib mematuhi. Tapi, tidak ada inisiatif untuk menambah fasilitas lain bagi pegawai. Akibatnya, loyalitas pegawai terhadap perusahaan menjadi kurang kental.

Padahal, konsep Tri Dharma yaitu Rumongso Melu Handarbeni, Melu Hangrungkebi, Mulat Satrio Hangsoweni, apabila dilaksanakan dengan konsisten takkan perlu sampai buruh menuntut kenaikan gaji. Apabila dilaksanakan dengan baik, akan timbul rasa saling pengertian antara pekerja dan pengusaha. Apabila loyalitas pegawai dihargai maka pengusaha juga yang diuntungkan.

Penelitian Dosen Fakultas Hukum UGM menampilkan Jepang sebagai contoh yang sangat menarik (Hernawan, 2009). Pasca Perang Dunia II konsep pekerja di Jepang adalah bahu membahu untuk membangun Jepang dari keterpurukan. Sinergi yang dibangun pengusaha dan pekerja adalah untuk membangun negaranya. Sistem pengupahan yang berdasarkan senioritas pun mendorong pekerja untuk mengabdi pada perusahaan secara langgeng dan totalitas (life long commitment system). Sehingga tidak heran produktifitas dan efisiensi perusahaan tinggi karena ada rasa saling memiliki.

Disinilah pentingnya penegasan jenjang karir dan syarat pendidikan minimum bagi para buruh. Dengan adanya kedua hal itu, perusahaan memberikan jaminan bahwa buruh tidak akan selamanya berada pada posisi terbawah piramida perusahaan. Bahwa dengan loyalitas dan kualitas kerja, tak mustahil para buruh menaiki jenjang tertinggi sebagai pimpinan dan hal itu berarti meningkatnya kesejahteraan.

Inilah yang tidak terjadi pada dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Hubungan antara pekerja dan pengusaha tidak dibangun atas dasar yang kokoh. Hubungannya justru cenderung transaksional. Pengusaha dipandang sebagai objek yang empunya uang, sementara perkerja adalah objek yang empunya tenaga. Akhirnya setelah pengusaha memberikan uangnya, ia lalu merasa pantas memeras tenaga pekerja semaunya. Sebaliknya, setelah pekerja memberikan tenaganya, ia merasa pantas mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari pengusaha.

Perlunya Konsistensi

Persoalan struktural inilah yang seharusnya dibenahi terlebih dahulu. Apabila pemerintah mampu melakukan pengawasan dan penindakan terhadap praktek-praktek yang memanipulasi sistem seperti itu, keinginan kenaikan upah minimum yang sangat ekstrem dapat dibendung. Kuncinya adalah adanya sistem yang efektif untuk melakukan pengawasan.

Jan Rutkowski dalam penelitiannya, “The Minimum Wage : Curse or Cure?” mengemukakan solusi untuk mengatasi dilematisnya upah minimum. Menurutnya, menetapkan upah minimum dalam tingkat yang lebih rendah namun dengan penegakan yang efektif akan lebih efektif dan adil daripada penerapan upah minimum yang tinggi tapi dengan pelaksanaan yang lemah (Rutkowski, 2003).

Artinya, solusinya bukanlah semudah menaikkan atau konstannya upah minimum, tetapi bagaimana upah minimum yang sudah ada ditegakkan secara efektif. Dalam hal ini perlu juga ditambahkan bahwa praktek ketenagakerjaan yang memanipulasi sistem yang berlaku agar ditindak. Untuk itu diperlukan kementerian tenaga kerja yang serius dan tidak terbawa-bawa agenda politik.

Menaikkan upah minimum memang langkah yang paling gampang dan populer secara politis, tetapi tidak menyelesaikan masalah sebenarnya dalam dunia ketenagakerjaan kita. Masalah kita adalah inkonsistensi dalam menegakkan regulasi dan kelincahan dalam memanipulasi sistem. Janganlah kita terpaku bahwa upah minimum adalah masalah sesungguhnya.

Maka, dalam polemik upah minimum ini pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab, bukan pengusaha apalagi pekerja. Kegagalan pemerintah melakukan pengawasan dan penindakan dalam soal ketenagakerjaan ditambah lagi ketidakbecusan mengurus ekonomi mengakibatkan tuntutan kenaikan upah minimum. Itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan menaikkan upah.

(Artikel merupakan naskah asli, telah dimuat dalam kolom opini Suara Pembaruan 10/09/2013)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline