Lihat ke Halaman Asli

Tragedi Upah Minimum yang Tinggi

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dunia perburuhan kembali digelisahkan dengan nasib sekitar 1.200 pekerja yang terancam dirumahkan akibat perusahaan ternyata tidak sanggup menyesuaikan diri dengan UMP yang berlaku. Hal ini membuktikan kesulitan para pengusaha untuk mengikuti laju kenaikan upah pekerja bukanlah ancaman belaka. Bahwa kekhawatiran yang selama ini hadir terhadap dilematisnya upah buruh dan kemampuan pengusaha adalah hal yang realistis.

Titik keseimbangan kesejahteraan pekerja dan pengusaha dalam geliat ekonomi adalah suatu langkah panjang yang ditempuh dengan pengorbanan setiap pihak. Dalam lingkup kecil, mungkin pemerintah Provinsi DKI tidak berkeberatan apabila perusahaan-perusahaan pindah ke provinsi lain. Tetapi, jika perusahaan pindah ke luar negeri justru yang menelan pil pahit adalah bangsa ini.

Kepindahan perusahaan ke luar negeri mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran di dalam negeri. Hal ini bukanlah kekhawatiran atau sekedar ancaman tetapi fakta nyata yang harus ditemukan solusinya.

Kehadiran upah minimum yang tidak elastis terhadap kebutuhan pengusaha seperti yang dihadapi oleh beberapa perusahaan di DKI akhirnya mengorbankan pekerja-pekerja yang adalah rakyat Indonesia. Kenyataan pahit ini membuktikan kebenaran teori Stigler (1946) bahwa ada korelasi negatif antara upah minimum dengan ketenagakerjaan. Bahwa pengangguran adalah keniscayaan apabila diperhadapkan dengan kenaikan upah minimum.

Peningkatan upah buruh sejatinya adalah demi tujuan yang baik yakni pengentasan kemiskinan. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika upah minimum menjadi tinggi, justru lagi-lagi orang-orang miskin yang harus terpental dari gelanggang ekonomi. Inilah yang disebut sebagai tragedi upah minimum oleh pemenang nobel ekonomi, Milton Friedman.

Tiga Alternatif

Menghadapi tragedi semacam ini sebetulnya ada tiga macam solusi yang bisa dilakukan. Pertama, mempertimbangkan melakukan trade-off antara upah minimum atau kesempatan kerja yang lebih luas. Artinya, patut ditimbang-timbang, manakah yang lebih menguntungkan. Memberi gaji sesuai UMP tetapi resikonya kehilangan 1.200 orang dan berpotensi terus meningkat, atau memberi gaji tidak sesuai UMP namun menyelamatkan ribuan pekerja. Serikat buruh pun begitu, patut menimbang-nimbang, relakah melihat nasib teman-teman sesama pekerja yang dirumahkan hanya demi kesejahteraan sendiri?

Mengingat pidato Presiden pada 16 Agustus 2013 yang mendorong konsumsi demi pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka ketersediaan lapangan kerja menjadi suatu hal yang urgen untuk diperhatikan agar konsumsi dapat terus terjadi. Maka, daripada segelintir pekerja menikmati upah tinggi namun mengorbankan pekerjaan bagi sebagian lain lebih baik upah minimum yang biasa saja namun semua dapat bekerja. Terlihat, bahwa pendulum pengorbanan berada di sisi pekerja.

Kesejahteraan pekerja adalah sebuah langkah bertahap. Idealnya, memang terbuka lapangan kerja yang luas dengan upah yang tinggi. Apabila kondisi ideal itu belum tercapai, paling tidak targetnya adalah tercipta lapangan kerja bagi semua. Urusan upah nomor dua. Barulah setelah ketersediaan lapangan kerja teratasi, tuntutan mengenai upah buruh mulai diperketat.

Kedua, mempertimbangkan upah minimum yang tidak terlalu tinggi namun diikuti dengan pelaksanaan yang serius. Jan Rutkowski dalam penelitiannya, “The Minimum Wage : Curse or Cure?” mengemukakan sembilan prinsip upah minimum yang pruden. Dalam salah satu poin yang dikemukakan dalam penelitian itu adalah menetapkan upah minimum dalam tingkat yang lebih rendah namun dengan penegakan yang efektif. Ini akan lebih efektif dan adil daripada penerapan upah minimum yang tinggi tapi dengan pelaksanaan yang lemah (Rutkowski, 2003).

Maka, masalah kesejahteraan buruh tidak hanya tunggal berada pada soal upah minimum yang tinggi namun memberatkan pengusaha. Upah minimum yang tidak terlalu tinggipun, apabila secara konsekwen dilaksanakan, akan besar dampaknya. Dalam hal ini, pendulum pengorbanan berada pada posisi pengusaha. Pengusaha dituntut komitmennya untuk tidak lagi ingkar atau menggunakan alasan-alasan untuk menghindari ketentuan upah minimum yang sudah diupayakan untuk tidak memberatkan mereka.

Pengusaha harus menjadi gentleman untuk tidak menggunakan cara-cara yang menelikung hukum demi menjaga upah pekerjanya tetap rendah. Cara-cara seperti outsourcing pada kegiatan yang sudah jelas menjadi aktivitas utama perusahaan, sistem kontrak pekerja yang tiada habisnya, seharusnya dihindarkan. Bahkan kalau perlu, pengusaha memberikan insentif lain selain gaji sehingga karyawan puas.

Ketiga, upah minimum yang rendah pun akan menjadi tinggi apabila angka KHL lebih kecil daripada UMP. Apabila sungguh pemerintah berkeinginan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, caranya tidaklah sesederhana mengatrol upah buruh. Apabila pemerintah mampu menjaga angka kebutuhan hidup layak pekerja dibawah upah buruh yang rendah, tentunya takkan perlu ribut-ribut hari ini terjadi.

Dengan cara ini berarti pendulum kerja keras berada di sisi pemerintah. Memang, upah minimum yang tinggi adalah suatu langkah yang paling mudah dan secara politis populer karena diimani dapat mengurangi kemiskinan, tetapi pada kenyataannya justru tidak. Itulah yang ditemukan oleh Mark Wilson (2012) dalam penelitiannya, “The Negative Effects of Minimum Wage Laws”.

Pemerintah jangan potong kompas untuk meningkatkan kesejahteraan buruh dengan aturan upah minimum yang tak masuk akal. Gunakanlah kekuasaan secara benar, tidak korup, sehingga stabilitas fiskal dan moneter terjaga. Apabila angka KHL bisa dijaga dibawah UMP yang rendah itu, barulah pemerintah boleh tepuk dada berhasil dalam bidang ekonomi.

Jadi, persoalan divestasi perusahaan-perusahaan dari DKI dan implikasinya berupa PHK massal seharusnya mengetuk nurani dan akal kita. Bahwa, kata kesejahteraan yang selama ini kita umbar ternyata hanyalah jargon yang dimaknai secara sempit dalam konteks yang parsial. Kita lupa terhadap tujuan akhir dari kesejahteraan itu.

Kesejahteraan pekerja, tidak sekedar memiliki dimensi tingginya upah. Kesejahteraan pengusaha, tidak sekedar berarti tingginya laba. Kesejahteraan pekerja dan pengusaha haruslah berujung pada satu hal yang sama, yakni demi keuntungan seluruh bangsa. Kalau tidak, tragedi ketenagakerjaan akan terus-menerus disuguhkan dalam perjalan panjang bangsa ini mengisi kemerdekaan.

(Artikel merupakan naskah asli. Telah diterbitkan dengan beberapa perubahan pada harian Kontan, 26 Agustus 2013).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline