Lihat ke Halaman Asli

koko abror

Mahasiswa Psikologi

Benarkah UN Dihapus?

Diperbarui: 8 Desember 2019   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhir -- Akhir ini isu yang marak berdedar di masyarakat yaitu mengenai isu penghapusan Ujian Nasional pada kelas akhir di tingkat SMA oleh Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan  (MENDIKBUD). Menurut beliau ujian Nasional yang selalu dilakukan oleh para siswa kelas akhir tingkat SD, SMP maupun SMA, menuai banyak pandangan mengenai sisi posistif dan negatifnya.

Bapak Mendikbud  Nadiem Makarim mengungkapkan alasan yang melatarbelakangi rencana penghapusan ujian nasional (UN). Menurut Beliau mengapa ada wacana seperti itu ubtuk menghindari dampak negatif dari UN.

Beliau mengungkapkan bahwa hal negatif yang paling berdampak saat UN adalah tingkat stress yang dialami oleh para calon peserta. Saat siswa menghadapi ujian yang pelajarannya bukan bidang mereka, ada rasa khawatir yang berlebihan.

Seperti yang kita tahu, stress dikenal sebagai interaksi antara kemampuan coping seseorang dengan tuntutan lingkungannya. Stress juga merupakan proses psikobiologikal (adanya stimulus yang membahayakan fisik dan psikis bersifat mengancam lalu memnculkan reaksi-reaksi kecemasan).

Fenomena lingkungan yang berkaitan dengan stress sering sekali kita temukan, dimanapun kita berada. Karena setiap individu yang hidup tidak lepas dari stress dalam kesehariannya.

Fenomena stress bisa kita jumpai dalam kasus kasus misalnya yang terjadi saat siswa akan menghadapi ujian nasional. Fenomena-fenomena stress sebenarnya dapat diatasi dengan coping atau penyesuaian stress, sehingga respon dari stress yang timbul dapat menjadi konstruktif atau membangun. Namun pada kenyataannya tidak sedikit orang yang mengalami stress yang luar biasa hanya karen masalah yang dapat dibilang sepele tetapi tidak bisa mengatasinya.

Stress merupakan kondisi fisik yang ada dalam diri setiap orang. Artinya stress tidak mengenal jenis kelamin, kedudukan, jabatan dan lin sebagainya. Stress bisa dialami oleh bayi anak-anak, remaja maupun orang dewasa bahkan mungkin oleh makhluk hidup lainnya.

Stress dapat berpengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif mendorong orang untuk mebangkitkan kesadaran dan menghasilkan penngalaman baru. Sedangkan pengaruh negatif menimbulkan perasaan-perasaan tidak nyaman, tidak peraya diri, penolakan, marah, depresi dan memicu sakit kepala, insomnia dan penyakit lainnya.

Stress pada anak yang berkepanjangan akan berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya yaitu kurang percaya diri dan takut melakukan sesuatu. Istilah stress tidak dapat dipisahkan dari disstress dan depresi, karena satu sama lain saling terkait. Stress merupakan reaksi fisik terhadap masalah kehidupan yang dialami. Apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu maka orang tersebut mengalami disstress, yaitu derajat penyimpangan fisik, psikis dan perilaku dari fungsi yang sehat. (Sopiah, 2008).

Fenomena stress dapat dilihat dari penelitian yang ada dalam jurnal kesehatan mental masyarakat pedesaan. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa respon stress yang negatif. Yaitu kecemasan, gangguan suasana hati seperti depresi dan manik depresif. Penelitian Lestari (2009) di desa Bangun Rejo kecamatan Tanjung Morawa, kabupaten Deli serdang, yang melibatkan 7 orang ibu hamil memperlihatkan adanya respon stress dengan kecemasan persalinan yan ditandai dengan gejala jantung berdebar-debar dan tidak bisa tidur.

Stress juga diperlihatkan oleh suami isteri diwilayah Desa Ngoro, Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto yang menikah diusia muda walaupun tarafnya masih sedang. Hal ini diperlihatkan oleh hasil penelitian Khusnah (2010) yang melibatkan 94 orang subjek, 47 orang suami dan 47 orang isteri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline