Lihat ke Halaman Asli

Pengajian Seperti Umpluk?

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alm Prof, DR H Damardjati Supadjar-pakar filsafat Jawa UGM Yogyakartapernah berkata, “pengajian sekarang ini sepertiumpluk (bahasa Indonesia: busa)”. Bagi yang akrab dengan alm, kata-kata itu sering terdengar ketika berdiskusi dengan almarhum yang di masa hidupnya dikenal kontroversial dalam hal pandangan filosofinya.

Pak Damar (alm), sering menggunakan kata umpluk atau busa untuk menunjuk sesuatu kegiatan baik yang kehilangan makna dan esensinya. Seperti, pengajian. Sekian banyak pengajian di mana pun, tidak berbanding lurus dengan perubahan akhlak manusia. Memang, pengajian tidak serta-merta mampu merubah akhlak seseorang menjadi baik. Dan, bukan salah kyai atau ulama, takmir masjid dan tokoh agama yang mengadakan pengajian kalau kemudian pengajian dianggap umpluk. Bukankah pengajian itu hanya salah satu upaya memberi petunjuk dan pencerahan bagi umatnya? Sedangkan, hasil dan kualitas penerimaannya tentu bergantung kepada masing-masing umat. Inilah akar masalahnya.

Tidak sedikit orang berangkat pengajian hanya untuk kepentingan sosial. Hanya agar tak mendapat stigma. Atau agar tidak dirasani (digunjingkan) para tetangga. Sedangkan, niat tulus untuk mendengar dan memahami materi pengajian sebagai bahan pengetahuan keagamaannya menjadi nomor yang ke sekian. Alhasil, pengajian hanya menjadi ajang kumpul-kumpul. Bahkan, menjadi ajang bagi para ibu untuk memamerkan gaun muslimahnya yang baru dan trendy. Tidak jarang, bahkan ada yang berangkat pengajian dengan niat utama menawarkan busana muslim muslimah yang merupakan usaha bisnisnya. Fakta ini memang bukan hasil riset. Namun, sekiranya fakta sosial ini terasa ada di sekitar kita.

Manfaat lain yang penting dari sebuah kegiatan pengajian adalah menjalin silaturahmi. Dari silaturahmi itu ada berkah sebagaimana ungkapan “banyak kawan, banyak rejeki”. Sebaliknya, memutus tali silaturahmi bisa menyempitkan jalan rejeki. Tetapi menjadi tidak arif, manakala mengikuti pengajian hanya berdasar kepentingan duniawi. Tujuan pengajian yang diharapkan mampu membuat para umat semakin paham dengan agama, tata cara ibadah dan dekat dengan Tuhan dan Rosul-nya menjadi tidak tercapai. Lalu, pengajian dari waktu ke waktu pun seolah dirasa kurang berdampak positif bagi perubahan akhlak. Sungguh orang-orang seperti itu sekiranya sudah berdosa kepada para kyai atau ustadz dan ustadzah yang sudah susah payah memberi ceramah.

Niat tulus memang ada di dalam hati. Dan, karena itu hanya pribadi masing-masing yang mengetahui. Karena itu, marilah kita sama-sama istiqfar dan membetulkan niatan kita dalam mengikuti setiap bentuk pengajian agama. Habluminalloh dan habluminnanas harus seimbang. Syukur-syukur lebih berat habluminalloh-nya. Sebab, dengan selalu berpikir vertikal menuju Sang Maha Kuasa, seringkali berkah duniawi justru datang tanpa disangka-sangka. Jangan malah celaka dengan berangkat pengajian dengan misi duniawi semata. Pengetahuan agama tidak bertambah, berdosa kepada para penceramah dan rejeki tidak barokah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline