Lihat ke Halaman Asli

Matahati

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rentetan kata-kata meledak saja dari mulutnya. Entah itu fakta atau sekadar pembelaan atas rasa bersalah. Mata telah buta oleh tembok kekuasaan. Tangan-tangan besi memukul kebenaran. Memporak-porandakan keadilan.

Rakyat jelata bingung bukan kepalang. Tak bisa bedakan mana salah, mana benar. Di negeri ini, di tanah ibu pertiwi. Keadilan bak pisau tumpul bila berhadapan orang-orang besar. Namun bisa menjadi tusukan amat tajam pada orang-orang kecil. Dimana nurani? Dimana matahati?

Disana mereka berteriak minta keadilan. Disini mereka menutup telinga rapat-rapat. Menutup mata atas sebuah kenyataan. Disini anak kecil menangis kelaparan. Disana pesta besar dirayakan. Disini anak kecil kehabisan susu. Disana mereka asyik mandi susu.Dimana nurani? Dimana matahati?

Kemarin tawa masih menghias wajah kecil. Hari ini kesedihan menggelayut di ruang mata. Kemarin damai masih berteman baik. Hari ini keadilan perlahan menjauh. Dimana nurani? Dimana matahati?

Bila esok, lusa kami mati. Kami tak ingin ibu pertiwi merintih. Kenanglah kami sebagai rakyat yang tanpa pamrih mempertahankan harga diri dan nurani. Disini, di dada kami, matahati kami tak pernah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline