Lihat ke Halaman Asli

Ko In

TERVERIFIKASI

Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Filosofi di Balik Masak Nasi Tim

Diperbarui: 2 Desember 2020   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto:nalar.id)

Sudah lupa saat umur berapa saya diajari ibu cara memasak nasi tim. Cara paling sederhana dan mudah. Tidak repot dan tidak pula membingungkan. Tinggal ambil beras sesuai takaran yang dikehendaki atau diinginkan. Ibu biasanya berpesan, "Tiga kaleng, saja. Rata, Ndak usah muncup-muncup."


"Dicuci bersih kemudian masukkan panci yang biasa untuk ngetim. Kasih air sampai berasnya terendam semua. Kira-kira setinggi garis pertama jari telunjukmu. Terus masukkan ke panci besar yang biasa untuk masak air. Jangan lupa diisi air satu ciduk," jelas ibu. Sampai saya hafal hingga saat ini.

Tiga kaleng, maksudnya kaleng bekas susu kental manis yang dijadikan alat ukur dan menciduk beras. Pesan itu tidak lain ibu sampaikan, setiap kali akan meninggalkan rumah siang atau sore hari karena ada arisan atau kegiatan lain. Ibu selalu mengulang pesan yang sama ke saya, jika tidak sempat menanak nasi.

Sebagai hadiah, karena sudah masak nasi tim, ibu membawa lauk yang sedikit istimewa dari biasanya. Bagi sebagian orang, pesan ibu untuk memasak nasi tim sebuah peristiwa biasa dan tanpa makna atau nilai. Tetapi dibalik alasan ibu menyuruh saya masak nasi terdapat nilai yang sampai saat ini saya jalankan.

Kaleng ukuran beras (foto:viva.co.id)

Hal itu saya pahami manakala saya sudah dewasa. Pada mulanya kesal, diberi tugas untuk masak nasi dengan cara tim. Saat ibu pergi, sebenarnya kesempatan paling bagus untuk bermain-main sepuas-puasnya. Namun dengan tugas tersebut acara bermain jadi terganggu.

Pernah suatu kali saya lupa karena keasyikan ditinggal nonton televisi. Walau ruangan nonton televisi dan dapur tidak begitu jauh. Gara-garanya volume suara televisi terlalu keras sehingga lupa jika sedang masak nasi tim. 

Salah satu tanda nasi belum masak terdengar dari bunyi air, "Blegedug...Blegedug...Blegedug…." atau suara "Tek...Tek...Tek," tutup panci menandakan air masih cukup. Jika sudah tidak terdengar itu pertanda nasi hampir atau sudah masak. Airnya hampir habis dan waktunya mematikan kompor.  

Namun waktu itu penandanya bau gosong. Awalnya tidak sadar jika bau itu bersumber dari dapur dan masakan nasi tim. Pikir saya masakan tetangga gosong dan masih setia di depan televisi. 

Kerak (foto: kompas. Shutterstock)

Manakala ingat, saya langsung berlari ke dapur yang penuh dengan bau gosong. Mematikan kompor. Mencari kain lap. Mengeluarkan dan memindahkan nasi tim dengan meninggalkan kerak dipanci. Untuk meninggalkan jejak supaya tidak diketahui ibu. Panci tempat nasi saya rendam dalam air. Tujuannya agar sisa kerak nasi dapat dibersihkan segera, sebelum ibu datang.

Saat ibu pulang dan melihat nasi tim di atas meja. Ibu langsung mengatakan, "Gosong, ya…". Saya pun hanya terdiam siap-siap menerima amarahnya. Namun saat itu saya heran ibu tidak marah malah membawakan lauk daging empal sapi kesukaan saya, untuk dimakan.

(foto: sajian sedap grid.id)

Beberapa tahun kemudian saya baru mengerti ada tiga nilai penting yang ibu ajarkan ke saya. Dari pengalaman memasak nasi tim termasuk yang gosong. Itu membuat saya terkesan dan selalu ingat walau masih banyak nilai-nilai yang diajarkan ibu ke saya seperti kebiasaan cuci tangan kaki sehabis berpergian. Atau membiasakan membawa piring dan gelas kotor usai makan ke tempat cuci piring.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline