Pagi itu sebelum berangkat sekolah. Ibu berkata, "Ko ..., mulai bulan depan harus ngirit. Tidak banyak jajan. Kita jadi kredit rumah."
Bingung saya menyikapi pesan ibu. Senang atau "kecut". Sepanjang perjalan di atas motor yang dikendarai bapak ke kantor. Kebetulan jalannya searah dengan sekolah. Isi kepala ini, tidak lepas dari bayangan rumah baru.
Membayangkan, ada nomor rumah dekat pintu. Jika ada yang bertanya alamat, bangga menyebut lengkap dengan nomornya.
Tidak seperti waktu itu, alamat dan satu nomor rumah untuk banyak orang. Kami tinggal di asrama bersama sekitar 30 kepala keluarga. Berhimpitan, tetangga dengan karakter yang bermacam-macam. Listrik dan air digunakan secara bersama.
Jika air mengalir kecil, harus antri dan bergantian. Atau tiba-tiba lampu mati karena tetangga menggunakan listrik melebihi beban. Terasa sekali merusak kenikmatan menonton televisi, waktu itu baru ada TVRI dan satu stasiun televisi swasta yang siaran nasional.
Tidak terasa motor tua, yang setia mengantar bapak sampai depan sekolah. Membuyarkan bayangan rumah baru dan tetangga yang berisik. Diganti pesan ibu, "Ngirit...!"
Tanpa sadar tangan merogoh saku celana, menghitung lembaran uang . Lega..., jatah uang jajan masih utuh. Belum kena pangkas atau potongan.
-----
Cara Bapak Miliki Rumah dengan KPR (Kredit Pemilikian Rumah) Subsidi
Ibu pernah menunjukkan struk gaji bulanan bapak, setengahnya harus dipotong untuk membayar angsuran KPR selama lima belas tahun. Terbayang, sampai saya kuliah hutang bapak belum lunas.
Untung ibu membuka warung di rumah sehingga ada penghasilan tambahan. Pembelinya ramai, kebanyakan tetangga atau teman sepermainan.