Lihat ke Halaman Asli

Kognisi.id

TERVERIFIKASI

Learning Platform by Growth Center part of Kompas Gramedia

Hustle Culture: Gila Kerja yang Melumpuhkan Seseorang

Diperbarui: 17 April 2023   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Farhan - Growth Center Kognisi.id

Belakangan ini, hustle culture menjadi istilah yang sering digunakan di berbagai kalangan, mulai dari kalangan pekerja hingga pelajar. Hustle culture adalah budaya banting tulang yang membuat seseorang bekerja secara terus-menerus dengan waktu istirahat yang relatif singkat. Budaya inilah yang biasanya mengubah seseorang menjadi workaholic.

Menurut Badan Pusat Statistik, hingga Februari 2021, sebanyak 24.9% pekerja Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas bekerja selama total 35-44 jam per minggu. Sementara itu, menurut Pasal 77 Ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, jam kerja maksimal bagi para pekerja atau buruh adalah sebanyak 40 jam per minggu. Artinya, masih banyak pekerja Indonesia yang jam kerjanya melebihi batas.

Dilansir dari Oxford Learner Dictionary, fenomena hustle culture pertama kali muncul sekitar tahun 1970-an. Ketika itu, perkembangan industri semakin melaju dengan cepat. Hal ini membuat para pekerja dituntut secara agresif untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat dan tepat.

Hustle culture seolah menciptakan ilusi bahwa bekerja mati-matian tanpa istirahat yang cukup adalah satu-satunya cara menuju kesuksesan.

Kenali ciri-ciri hustle culture

Pada dasarnya, produktivitas adalah hal baik yang harus dipertahankan. Seseorang harus memiliki produktivitas untuk dapat menghasilkan sesuatu atau menyelesaikan pekerjaan. Namun, apabila produktivitas seseorang terlampau tinggi melebihi batas normal, bahkan sampai mengurangi waktu istirahat yang dibutuhkan, terjadilah hustle culture.

Terkadang, seseorang tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi workaholic. Jadi, sebenarnya perilaku seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai hustle culture?

  • Overworking
    Salah satu ciri utama bahwa seseorang sudah menjadi workaholic adalah jam kerjanya yang terlalu panjang dengan waktu istirahat yang minim. Seseorang yang memiliki kebiasaan hustle culture menghabiskan hari-harinya untuk berfokus pada pekerjaan dan career goals yang ingin dicapai. Akibatnya, timbul emosi-emosi negatif seperti khawatir, merasa bersalah ketika berhenti bekerja, dan rasa selalu takut tertinggal karena membandingkan diri dengan orang lain.
  • Jam tidur yang berantakan
    Seseorang yang sudah 'termakan' dengan gaya hidup hustle culture cenderung memiliki jam tidur yang tidak teratur. Hal ini karena waktu yang seharusnya ia pakai untuk beristirahat dipakai untuk melanjutkan pekerjaan.
    Kebiasaan gila bekerja membuat waktu seseorang untuk bersenang-senang menjadi berkurang. Hal ini juga menjadi faktor utama yang mendorong kacaunya jam tidur seseorang. Ketika jadwal tidur itu tiba, alih-alih beristirahat, ia malah menggunakannya untuk bermain gadget, menonton televisi, atau melakukan hobi lainnya yang tidak bisa dilakukan di waktunya yang terpakai untuk bekerja.
  • Menetapkan goals yang tidak realistis
    Menetapkan harapan dan cita-cita merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah perjalanan berkarier. Namun, memiliki goals yang terlalu tinggi dan sulit digapai juga bukan merupakan hal yang baik.
    Seseorang yang secara sadar ataupun tidak menerapkan budaya hustle culture biasanya membuat dirinya sendiri tertekan karena menetapkan target yang tidak realistis. Penetapan goals yang tidak realistis ini juga sering kali juga diikuti dengan perasaan tidak puas dengan hasil pekerjaan atau jenjang karier yang sudah didapatkan.

Bahaya hustle culture yang "mematikan"

Budaya gila kerja tentu saja memiliki dampak negatif bagi kesehatan fisik dan mental seseorang. Pada 2018, Current Cardiology Reports melakukan penelitian terhadap pekerja-pekerja yang berasal dari Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular---seperti serangan jantung dan penyakit jantung koroner---pada individu yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu.

Dilansir dari Halodoc, peningkatan risiko penyakit tersebut disebabkan oleh peningkatan tekanan darah dan detak jantung karena aktivasi psikologis yang berlebihan dan stres. Tak hanya itu, hal ini juga dapat mengganggu metabolisme glukosa di dalam tubuh yang dapat mengarah ke penyakit diabetes. Sangat menyeramkan, bukan?

Hustle culture juga memiliki pengaruh buruk bagi kesehatan mental seseorang. Ketika tubuh seseorang dipaksa untuk bekerja secara terus-menerus, tentunya ia akan mengalami stres, dan tubuhnya akan melepaskan hormon kortisol dalam jumlah yang tinggi untuk periode yang lebih lama. Akibatnya, timbul berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 1980-2015 di Jepang, sebanyak pekerja laki-laki kerah putih dengan rentang usia 25-64 tahun memiliki tingkat kematian lebih besar yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular, kanker, jantung iskemik, dan bunuh diri daripada pekerja kerah biru (Dhungel et al. 2021).

Tidak hanya berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik, rupanya hustle culture juga berdampak pada kreativitas seseorang. Seorang psikolog dari Fakultas Kedokteran University of Washington yang bernama Dr. Jeanne Hoffman mengatakan bahwa jam kerja yang terlalu panjang akan menumpulkan kreativitas. Bekerja terus-menerus juga menyita waktu dan membuat seseorang cenderung tidak bahagia, dan hal ini juga dapat mengurangi tingkat kreativitas dan energi positif yang dimilikinya.

Mengatasi hustle culture

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline