Arah pembangunan perekonomian Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi-JK pada tiga tahun terakhir lebih banyak difokuskan pada rencana program pembangunan infrastruktur. Program tersebut tertuang dalam Perpres No 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategi Nasional.
Selama penyelenggaraan program tersebut, terdapat keberhasilan pemerintahan dalam membangun infrastuktur. Entah itu hasil dari proyek pemerintah saat ini atau melanjutkan pembangunan dari pemerintahan sebelumnya.
Keberhasilan pembangunan proyek tersebut dapat kita ikuti perkembangannya dengan mengaksesnya di portal berita media mainstream.Tidak terhitung berapa banyak berita terkait proyek yang berhasil dirampungkan. Hal tersebut untuk memperlihatkan kinerja dan keberhasilan pemerintah saat ini.
Di tengah harapan yang membumbung tinggi dengan membangun perekonomian negara melalui pembangunan infrastruktur tersebut, ternyata ada sekelumit masalah yang menghantui selama proses percepatan proyek nasional tersebut.
Adanya Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum seringkali dijadikan payung hukum untuk melakukan perampasan lahan oleh Negara terhadap masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, perampasan lahan tersebut mengakibatkan kemiskinan di suatu daerah tersebut karena tidak seimbangnya jumlah ganti kerugian yang diterima masyarakat dalam penggusuran sehingga masyarakat tidak dapat membeli tanah yang sama luasnya di tempat lain.
Selain itu, perampasan lahan milik petani juga dilakukan pada tanah yang subur sehingga mengakibatkan petani tidak dapat menggarap dikarenakan ketiadaan tanah untuk bertani, seperti yang terjadi pada pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Majalengka, New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang.
Perampasan lahan tersebut sebenarnya berimbas karena kehadiran aparat militer maupun dari institusi kepolisian yang cenderung menjaga perusahaan. Kehadiran mereka yang sebenarnya untuk stabilisisasi keamanan, namun di lapangan yang terjadi malah sebaliknya. Timbul permasalahan baru, seperti kekerasan oleh aparat, penyerobotan lahan, dan konflik horizontal antarwarga.
Jumlah peristiwa perampasan lahan dan kekerasan pada sektor bisnis dan HAM pada 3 tahun terakhir sangat bervariatif. Daerah yang paling sering terjadi perampasan lahan adalah Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Riau. Dorongan investasi dan percepatan infrastruktur ternyata tidak dibarengi dengan prespektif hak asasi manusia.
Keberhasilan pemerintah dalam melakukan percepatan pembangunan infrastruktur seyogyanya harus memerhatikan keadilan sosial dan mengisi hak asasi manusia. Dampak dalam pembangunan juga harus disadari oleh pemerintah. Untuk itu pemerintah harus mampu mengatasinya dengan cepat dan adanya win win solution. Sehingga, harapan untuk membangun perekonomian negara tidak tercederai dengan timbulnya masalah baru yang kemudian menghinggapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H