Berapa pun nominalnya, apapun mata uangnya uang selalu mengikuti dua pola: pola datang (where the money comes) dan pola keluar (how the money out). Pola tersebut bekerja secara mekanis dan seharusnya bisa diutak atik untuk kemudian menuju ke titik keseimbangan. Maka, kondisi keuangan seseorang bergantung dari seberapa dalam ia mengenal pola keuangannya. Dari kedua pola itu pula bisa ditebak apakah keuangan sedang surplus atau defisit. Dalam peribahasa, apakah "besar pasak daripada tiang." Dengan mengetahui polanya kita juga bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan "bencana keuangan" (financial disaster).
Berbicara tentang menjaga stabilitas sistem keuangan maka kita berbicara komitmen jangka panjang lintas generasi. Hal ini sejalan dengan salah satu fokus pemerintah dalam hal keuangan, yakni peningkatan literasi keuangan dan perlindungan konsumen (Kominfo, 2019). Dengan demikian, usaha menjaga stabilitas keuangan berarti mendelegasikan estafet kesejahteraan terhadap generasi berikutnya melalui literasi finansial.
Kita tidak boleh menjadi generasi egois yang sejahtera saat ini tanpa memikirkan bagaimana neraca keuangan anak cucu di masa mendatang. Ada generasi berikutnya setelah milenial, yakni Gen Z dan seterusnya. Terlebih, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan tentang rendahnya tingkat melek finansial masyarakat Indonesia yang masih di kisaran angka 29,7 persen.
Peristiwa krisis keuangan global (subprime mortgage) tahun 2007 di Amerika Serikat yang merembet ke penjuru dunia menjadi bukti bahwa kesinambungan pengetahuan memiliki nilai penting agar tidak ada rantai generasi yang terputus dalam hal akses pengetahuan finansial. Selain itu, keberhasilan Indonesia pulih dari krisis moneter 1998 dan 2008 menunjukkan bahwa Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan finansial.
Namun, jika keberhasilan tersebut tidak ditularkan hingga ke tingkat mikro dan kehidupan sehari-hari pada generasi selanjutnya maka bukan tidak mungkin siklus rutin bencana keuangan akan selalu terulang. Di sektor keuangan kejadian dan angka risiko sekecil apapun harus diminimalkan jika tidak ingin membesar menjadi bencana keuangan.
Di lain pihak, National Council on Economic Education (NCEE) pun menekan bahwa anak-anak harus melek ekonomi untuk kepentingan tata ekonomi global, baik hari ini maupun masa depan. Berangkat dari kesadaran dan kerangka ekonomi demikian maka peran orangtua seyogyanya adalah melibatkan anak-anak sejak dini dalam praktik pengelolaan keuangan dalam keseharian melalui langkah-langkah konkret dan aplikatif sesuai dengan tingkatan usianya.
1. Program SimPel
Pemerintah telah membibit anak-anak dan remaja agar mereka bisa mengenal sistem dan pengelolaan keuangan sedini mungkin melalui kunjungan mobil bank ke sekolah-sekolah. Kominfo menyebutkan, program ini melibatkan 322 ribu lebih sekolah dan menghasilkan pembukaan rekening SimPel (Simpanan Pelajar) sebanyak 16,2 juta lebih selama periode 2015-2018. Kegiatan tersebut sejalan dengan perkataan Robert Kiyosaki bahwa pendidikan keuangan juga harus diajarkan di sekolah. Selain sebagai pelengkap dan penyeimbang literasi keuangan di rumah juga sebagai pemutus mata rantai kemiskinan yang ada dalam masyarakat.
Komitmen pemerintah di atas kemudian saya terjemahkan dengan mengajak anak untuk membuka rekening tabungan agar mengenal banking. Dari sana kemudian dia mengenal istilah-istilah perbankan seperti debet, kredit, saldo, nomer rekening dst. Dengan demikian, akan timbul kesadaran bahwa menyimpan uang tidak hanya di celengan dan bertransaksi keuangan tidak hanya di tempat belanja. Bentuk produk keuangan yang bermacam-macam pada akhirnya akan diketahuinya sehingga wawasan keuangannya. Setiap kali memerlukan kegiatan perbankan maka saya dampingi dia sambil menjelaskan hal-hal yang dia tidak mengerti.
2. Jatah uang jajan
Setiap awal bulan saya memberikan sejumlah uang yang saya anggap cukup dalam seminggu ke depan. Kesepakatan dibuat. Uang jajan harus dikelola dengan baik agar cukup memenuhi kebutuhannya dalam satu minggu. Percobaan pertama tidak langsung berhasil. Wajar, karena anak-anak belum tahu sama sekali bagaimana mengelola dan melakukan penganggaran keuangan.