Lihat ke Halaman Asli

Surat Dari Putri

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah, apa kabar? Baik-baik saja kah di sana? Tidak terasa sudah enam tahun engkau meninggalkan dunia ini dengan meninggalkan sejuta luka pedih. Kita sudah terpisah antara ruang dan waktu.

Ayah, sampai saat ini terkadang aku iri dengan teman-teman sebayaku. Saat mereka sedang bertamasya dan berkumpul dengan kedua orang tuanya, aku hanya melihat dan tersenyum. Ya, tersenyum pedih karena aku tidak pernah merasakan bahagia yang dirasakan oleh mereka yang mempunyai keluarga yang harmonis.

Ayah, meskipun engkau jarang pulang dan hanya seminggu sekali pulang ke rumah, ketika aku kecil, aku selalu berdoa agar ayah tidak marah-marah dan memukul ibu. Apakah ayah tahu? Aku menangis tanpa suara saat menyaksikan kalian bertengkar. Saat engkau pergi dengan membanting pintu, aku melihat ibu menangis pedih. Aku tak bisa membela ibu karena aku masih berusia 5 tahun dan aku belum bisa berbicara dan masih tergagap pada saat itu. Saat aku mendekati ibu, ia mengusirku agar menjauh darinya. Ketika aku melakukan kesalahan sepele, ibu selalu memukulku hingga tubuhku memar membiru. Tahukah ayah? Akibat perbuatanmu, aku menjadi pelampiasan amarah ibu.

Ayah, apakah engkau tahu? Posisi ibu yang menjadi istri keduamu membuat aku dan ibu menjadi imbas amarah dari semua tetangga. Engkau yang jarang sekali pulang karena takut ketahuan oleh keluarga besarmu, membuat laki-laki yang menjadi tetangga kami selalu menggoda dan mengajak tidur ibuku. Ibuku yang notabene perempuan baik-baik menolak mereka, tetapi ibu difitnah tetangga, dianggap sebagai pelacur dan perusak rumah tangga orang. Aku pun juga dianggap sebagai anak haram dan tidak ada seorang pun teman sebayaku yang mau berteman denganku. Saat aku bermain sendirian, aku dijahati dan dilempar batu oleh teman sebayaku dengan makian bahwa aku adalah anak haram pembawa sial.

Ayah, Aku teringat saat aku duduk di kelas 4 sekolah dasar, ibu sedang hamil usia 5 bulan. Ayah menyuruh ibu untuk mengugurkan janin didalam kandungannya dengan melemparkan uang untuk aborsi, setelah itu engkau pulang dengan membanting pintu rumah lagi. Ibu memungut uang yang engkau lemparkan ke tubuhnya dan membelanjakan uang yang ayah lemparkan ke ibu untuk kebutuhan sehari-hari karena setiap engkau memberikan nafkah, selalu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, keluargamu yang engkau asingkan. Setelah ibu membelanjakan uang aborsi untuk membeli beras dan kemudian dinanakan menjadi nasi dan lalu dimakannya, ibu langsung keguguran. Tahukah ayah? Tak ada satu orang pun yang menolong ibu dan saat itu aku hanya bisa menangis. Pupuslah sudah keinginanku memiliki seorang adik untuk menemaniku bermain.

Ayah, ketika aku duduk di kelas 5 sekolah dasar, ibu hamil lagi. Ayah melemparkan uang aborsi itu lagi dan meninggalkan rumah dengan penuh amarah. Ibu tetap mengambil uang itu, tetapi hanya disimpan hingga uang itu tidak laku lagi. Tahukah ayah? Saat ibu hamil 7 bulan, genteng rumah bocor. Ibu meminta bantuan kepada tetangga untuk memperbaikinya dan mau membayar upah apabila genteng rumah dapat diperbaiki, tetapi tidak ada seorang tetangga pun yang mau membantu ibu. Pada akhirnya, ibu memperbaiki genteng rumah sendirian dengan tangga sambil memegang perutnya yang besar. Aku menangis di bawah dan menyuruh ibu turun karena aku takut ibu jatuh dari genteng. Ibu menatapku dari atas, lalu ibuku turun dari genteng.

Ayah, pada akhirnya aku mempunyai seorang adik perempuan yang cantik, mirip dengan parasnya ibu yang notabene mantan kembang desa di sebuah desa yang terletak di tanah Parahiyangan. Parasku tidak mirip dengan ibu, tetapi lebih mirip ke parasmu, Ayah. Setelah kelahiran adikku, ibu mengacuhkan diriku. Ibu menjadi lebih sibuk mengurus adikku. Aku sadar adikku memang membutuhkan kasih sayang lebih dari ibu, tetapi ketika ada sesuatu masalah yang tidak aku mengerti pada saat itu, mengapa aku selalu dipukul dan diusir dari rumah? Ibu mengatakan aku adalah anak yang tidak tahu diri mirip seperti ayah. Perasaanku kelu dan air mata terus meleleh. Aku meminta maaf kepada ibu, tetapi ibu masih saja menghajar dan mengusirku. Meski pada akhirnya ibu luluh ketika melihatku aku tertidur di teras rumah saat tengah malam dan menggendongku ke kamar tidur.

Ayah, ingat kah ketika nenek sakit? Nenekku dari ibu? Nenek sedang sakit stroke dan dirawat oleh ibu, tetapi engkau malah mengusir nenek dan memaki keras kepada ibu. Aku yang sudah duduk di sekolah menengah pertama hanya bisa mendengarkan tangisan nenek. Aku marah kepadamu. Marah sekali. Engkau tak hanya memaki dan memukul ibu, tetapi engkau juga tega mengusir nenek dari rumah. Ya, saat itu aku membela ibu, tetapi engkau menyebutku anak durhaka. Setelah kepergianmu dari rumah, ibu marah kepadaku karena sikapku membela ibu dapat menyebabkan engkau tidak lagi memberikan uang kepada ibu. Ya, ibu memang dari kalangan keluarga miskin, sedangkan ayah berasal dari kalangan orang terhormat, tetapi tidak bisakah engkau memperlakukan kami selayaknya manusia?

Ayah, aku menahan segala kesabaran sebagai korban KDRT. Ketika aku duduk di sekolah menengah atas, engkau menghilang tidak ada kabar selama dua bulan. Ibu gelisah karena tidak mempunyai uang lagi. akhirnya aku berinisiatif untuk mencari tahu di mana keberadaanmu dengan menghubungi keluargamu lewat telepon dan meminta petugas wartel menyamar sebagai rekan kerja ayah. Aku tersentak ketika petugas wartel mengatakan bahwa ayah sudah berpulang. Aku sedih dan pulang ke rumah dengan lelehan air mata. Aku menangis bukan hanya karena ayah berpulang tanpa kabar, tetapi aku menangis mengingat bagaimana ibu dan adikku makan tanpa uang yang engkau berikan? Sedangkan hasil ternak bebek saja tidak bisa mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari?

Ayah, pada akhirnya aku ke rumah ayah di Jakarta bersama sahabatku. Akan tetapi, aku diusir oleh semua anakmu yang usianya sama dengan ibu. Aku dianggap mencemarkan nama baik mereka dan aku akan dilaporkan ke penjara. Aku menantang. Aku mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus menemui ibuku sebelum aku dilaporkan kepada pihak kepolisian. Aku berani menantang karena perkawinan ayah dan ibu sah tidak hanya di mata agama, tetapi di mata negara juga. Selama setengah tahun setelah aku ke rumah ayah, mereka tidak kunjung menemui ibu. Ibu mengalami kesulitan ekonomi, dan bersyukur aku mendapatkan beasiswa di sekolah menengah atas dan aku bekerja setelah pulang sekolah hingga larut malam sebagai tukang fotokopian dan menjual makanan.

Ayah, setelah aku duduk di kelas akhir sekolah, anak-anaknya ayah datang ke rumah dan meminta bukti. Ibu memberikannya. Mereka pucat pasi dan mengatakan harta ayah sudah dibagi-bagikan bahkan keluarganya ayah bertengkar karena memperebutkan hartanya ayah. Aku dan ibu terdiam dan berusaha ikhlas.

Ayah, sampai saat ini banyak pria yang mendekatiku. Akan tetapi aku belum siap menjalaninya. Aku takut peristiwa yang ibu alami berulang lagi kepadaku. Aku mati rasa dengan cinta. Aku trauma dan menganggap pria adalah brengsek, meski aku tahu tidak semua pria seperti itu. Yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya agar membahagiakan ibu dan adikku. Aku percaya bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk hambanya, termasuk jodoh.

Ayah, Aku tidak menyangka dengan keadaanku sekarang ini. Aku teringat ketika aku mengikuti ujian UMPTN S1 dan nekat memilih salah satu universitas ternama di Indonesia dengan mengajukan beasiswa. Saat itu aku tidak berharap banyak mengingat kondisi ekonomi ibu. Tetapi aku terkejut dengan hasil pengumuman, ternyata aku lulus. Walaupun aku kuliah dengan ekonomi yang apa-adanya dan harus bekerja paruh waktu, aku berhasil menyelesaikannya meski lulus dengan tidak tepat waktu. Ayah tahu? Saat ini aku sedang berada di negeri orang, di negeri kincir angin, untuk menyelesaikan studi S2 dengan full-scholarship. Aku bersyukur hingga saat ini dengan perjalanan hidup yang telah aku lalui.

Ayah, terima kasih atas pembelajaran hidupnya. Terima kasih telah membuatku ada di dunia ini. Kini aku menyadari hidup ini kejam seperti seleksi alam. siapa yang kuat, dia yang bertahan. Bagaimanapun juga, pahit atau manisnya kenangan akan selalu dapat dijadikan pedoman untuk menjadikan hidup yang lebih baik lagi dan juga sebagai hikmah agar tidak terpeleset dari kesalahan yang sama.

Ayah, meski bagaimanapun jahat dan kejamnya dirimu, aku tetap menyayangimu. Semoga di alam sana engkau mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Di sini putrimu selalu mendoakanmu.

Dari putrimu yang mencintaimu,

Putri...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline