[caption id="attachment_173264" align="aligncenter" width="524" caption="Negeri Di Bawah Kabut"][/caption] Setelah diputar di Dubai, Singapura dan Jakarta, film dokumenter “Negeri di Bawah Kabut” akan diputar di 16 kota di Indonesia : Semarang, Solo, Yogyakarta, Purbalingga, Purwokerto, Salatiga, Bandung, Malang, Surabaya, Jember, Denpasar, Padang, Medan, Banda Aceh, Palu dan Makassar. Yogyakarta menempati jadwal pemutaran film tersebut pada tanggal 5 April lalu di Lembaga Indonesia-Perancis yang berlokasi di bilangan Sagan. Film dokumenter ini menceritakan tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Genikan yang berada di lereng Gunung Merbabu dan selalu berkabut. Arifin, bocah berumur 12 tahun, menghadapi kebingungan yang besar setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar. Ia memperoleh NEM tertinggi dalam UASBN di sekolah dasarnya dan mempunyai keinganan yang kuat untuk melanjutkan SMP Negeri. Akan tetapi, kesulitan ekonomi orang tuanya yang berprofesi sebagai petani, membuat Arifin harus memilih untuk mengupayakan SMP Negeri atau memilih untuk disekolahkan di pesantren yang notabene gratis dalam keseluruhan dalam pendidikan. Orang tua Arifin sangat memahami dan mengupayakan agar Arifin dapat disekolahkan di SMP, meskipun dengan kondisi pendapatan tidak tetap dan panen kentang terancam gagal karena iklim yang tidak menentu akibat pemanasan global. Orang tua Arifin berusaha meminjam uang kepada tetangga untuk membeli seragam Arifin, tetapi banyak tetangga yang tidak bisa meminjamkan uangnya karena mereka--yang sama-sama berprofesi sebagai petani--juga membutuhkan uang untuk biaya sehari-hari. Setelah mencari untuk meminjam, akhirnya ada salah satu tetangga, pasangan suami istri yang bernama Muryati (30) dan Sudardi (32), yang bersedia meminjamkan uang senilai Rp200.000,- untuk membeli seragam Arifin. Setelah mengetahui bahwa pendidikan di SMP Negeri hanya gratis dalam biaya SPP, terkecuali seragam sekolah yang diwajibkan dibeli di sekolah, buku-buku, dan biaya yang tidak terduga, akhirnya Arifin memilih melanjutkan pendidikannya di pesantren. Kehidupan masyarakat desa di lereng Gunung Merbabu mempunyai nilai-nilai yang dapat kita ambil. Perlu kita ketahui, masyarakat desa mempunyai tingkat kerja sama yang sangat besar. Itu terlihat dari contoh para tetangga yang membantu mengambil panen secara bersama-sama di ladang Muryati. Berbeda dengan masyarakat kota yang cenderung egois dan individualis. Setelah itu, pada saat Pemilu, masyarakat Desa Genikan beramai-ramai menyatukan satu suara untuk memilih pemimpin yang telah mengobarkan janji-janji yang belum tentu direalisasikan seperti membangun sarana infrastruktur dan menyejahterakan masyarakat di lereng Merbabu. Selain itu, Film dokumenter ini memperlihatkan bagaimana sebuah komunitas diam-diam sedang menghadapi perubahan tanpa mereka mengerti alasannya. Sebagai komunitas petani yang mengandalkan sistem kalender tradisional Jawa dalam membaca musim, mereka dibuat bingung oleh musim yang sedang berubah. Muryati dan Sudardi, berusaha memahami kenapa hujan turun lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gagal panen dan harga jual yang terlalu murah menjadi ancaman. Film dokumenter “Negeri Di Bawah Kabut” merupakan karya orisinil anak bangsa memenangkan Special Jury Prize untuk Muhr Asia Africa Documentaries pada Dubai Film Festival 2011 awal Desember lalu. Alur cerita yang menarik dan tanpa dimanipulasi, film yang disponsori oleh Goethe Institute Indenesien, Ford Foundation, dan Jakarta Art Council, layak untuk disambut dan disaksikan oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H