Jika ingin melihat kepribadian seseorang, lihat dari tulisannya.
Begitu yang pernah saya baca, dan saya rasa ada benarnya. Lewat tulisan-katanya- seseorang bisa dengan membaca karakter sang penulis. Anda percaya?
Mungkin 2016 adalah tahun terakhir saya menulis di kompasiana. Lalu entah bagaimana, muncul beribu alasan untuk tidak lagi menulis. Mulai dari alasan kesibukan, sampai jaringan internet yang secepat batu. Itu-itu saja yang berputar dalam lingkaran alasan saya, atau mungkin juga kita punya masalah yang sama.
Jadi malam ini, saya putuskan untuk membuka mata lebar-lebar dan memulai apa yang sejak dulu ingin saya mulai. Tidak mudah sih, tapi menyadari ketikan yang sudah lewat dari 100 kata ini, ternyata melegakan juga. Tidak lagi menggerutu, tidak lagi omdo (omong doang), tapi mulai belajar lagi untuk meluruskan ide. Belajar lagi untuk meluruskan pemikiran dalam bentuk artikel, bukan lagi sekedar status pendek di media sosial.
Banyak sekali kejadian sejak tahun 2016 hingga kini, yang tidak bisa dilepaskan dari peran besar jurnalisme warga. Mencari informasi soal gempa bumi yang terjadi 1 jam lalu, tidak perlu lagi menunggu koran esok pagi, tapi bisa langsung lihat twitter. Pemberitahuan secara real-time, dan cepat menyebar karena adanya fitur menyebarkan informasi (quote, retweet). Oleh karenanya jika ada bencana di tanah A, maka bisa jadi penduduk di tanah Y akan mengetahui disaat yang nyaris bersamaan. Bantuan, donasi, dan doa bisa mengalir dalam waktu yang sama.
Sayangnya itu juga terjadi pada berita bohong. Berita yang sama sekali tidak memiliki nilai akurasi. Berita yang tidak akurat, adalah bukan berita, tapi desas desus. Jadi akan benar-benar buang waktu, kalau bandwith internet bulanan berkurang hanya karena membuka tautan atau menyebarkan desas desus. Bergosip dengan tetangga saja, tidak bayar! Sedangkan bergosip dengan internet, harus membayar paket internet. Yikes!
Bagaimana sih perasaan kita, saat mendengar seorang pembawa acara berita mengabarkan adanya bencana alam di tanah orang tua? Panik, menangis, kaget, atau tercengang (bahkan bisa terkena serangan jantung seketika). Lalu bagaimana perasaan kita, saat tahu kalau itu hanya desas desus. Orang tua masih aman di dalam rumah, dan rumah masa keci juga masih tegak berdiri. Padahal kita sudah nangis sesenggukan dipundak kursi.
Inilah yang kemudian mendorong saya untuk kembali menulis. Minimal, saya ingin membantu para pencari informasi untuk mendapatkan informasi yang benar. Misalnya: "Sanur terletak di Pulau Bali", bukannya "Bogor terletak di Pulau Bali". Sesederhana itu, dan tidak terlalu memakan usaha besar. Justru menutupi kebenaran itulah, yang memakan usaha besar.
Memang begitu harusnya menjadi jurnalis warga. Saling bersenda gurau, membagi informasi, membagi pemikiran, dan lalu bersahabat. Sekarang mencari tetangga, tidak lagi harus di sebelah rumah, tapi bisa di kompasiana. Pergi ke Manado atau Kolombia pun tidak perlu lagi khawatir, karena (siapa tahu) ada tetangga kompasianer yang siap menjadi pendamping berjelajah. Saling melengkapi pemikiran, karena tiap kepala juga bisa punya banyak hipotesa. Kondisi inilah, yang sudah semestinya menjadi gaya hidup masyarakat era internet.
Jika bertukar ide dengan penuh ramah tamah dan saling memberi masukan positif, sudah menjadi kebiasaan, maka peradaban jurnalisme warga akan terbentuk dengan kokoh. Jurnalisme warga yang berisi para sahabat yang moderat, dan bersama-sama menghasilkan pergerakan positif yang cepat bagi masyarakat setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H