Menikah Beda Agama, Salahkah ?
Berita media beberapa hari ini mengangkat masalah perbedaan agama, yang cukup menarik perhatian pembaca termasuk penulis.
Sepengetahuan penulis tidak ada undang-undang yang jelas yang mengatur pernikahan beda agama, karena Indonesia ada lembaga yang namanya catatan sipil, disitu adalah lembaga yang mengatur semua pernikahan, tidak memandang sesama agama, ataupun berbeda agama. Sangat berbeda dengan yang beragama Islam dimana mereka harus dinikahkan di hadapan penghulu.
Memang dalam pernikahan di catatan sipil, calon pengantin diminta surat keterangan dari agama yang menaungi sebagai lampiran dan itu terjadi saat pemerintahan Soeharto. Namun penulis tetap menyaksikan banyak sekali pasangan yang berbeda agama diluluskan oleh catatan sipil. Misalnya menikah diluar negeri, kemudian dicatat di catatan sipil. Awal adanya UU perkawinan yang mewajibkan seagama, ini jika tidak salah ingat diberlakukan setelah G30S, dimana orang yang tidak beragama dianggap PKI, sehingga penduduk pada ketakutan. Ini juga berakibat di KTP, status Agama harus ada, jika tidak dampaknya juga bisa dituduh PKI sebagai orang komunis yang Atheis.
Pernikahan merupakan suatu yang sakral, oleh sebab itu harus dihargai oleh setiap orang. perbedaan agama, etnis dalam satu pasangan, bukan menjadi penghalang bagi satu pernikahan apalagi dibatalkan oleh undang-undang.
Mari kita renungkan, mana yang lebih mendidik dan lebih layak jika sepasang pengantin yang akan menikah karena beda agama, kemudian karena tuntutan hukum, ia menerima begitu saja agama pasangannya karena peraturan. Setelah dinikahkan mereka kembali kepada agama asalnya, dia tidak mau solat, tidak mau kegereja atau tidak lagi ke kuil dst-nya. Apakah karena itu dia bisa dituntut ? Sebaliknya bukankah peraturan itu membuka peluang orang berbohong ? Mana yang lebih jahat, undang-undang yang mengatur atau pasangan yang mau nikah karena beda agama ? Mengapa zaman yang sudah begitu maju, pernikahan yang sakral ini aja masih harus dipolitisir. Agama menyangkut keimanan yang tidak bisa dibaca oleh orang lain, atau ditentukan oleh orang lain atau memaksakan orang lain, apalagi sebagai penentu seseorang bisa naik kesorga atau neraka. Sepengetahuan penulis, agama Kristen memang dianjurkan untuk menikah sesama agama, namun tidak melarang mereka yang menikah beda agama secara explicit. Apalagi kebebasan beragama dalam Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, dalam konstitusi kita sudah menjamin keberadaan itu. Mengapa itu harus dipersulit dengan berbagai macam pendapat, kemudian mengurangi hak orang.
Menikah beda agama, ada relevansinya dengan keterangan identitas agama dalam KTP, ini juga salah satu penyebab konflik sosial yang dirasakan tidak adil. Karena diakui atau tidak sekelompok orang dari minoritas akan dirugikan oleh karenanya. Misalnya dalam melamar kerja, karena perbedaan agama bisa digagalkan. Sudah ada kemajuan selangkah, dimana awalnya KTP membedakan WIN dan WNI keturunan. Namun jika tidak salah itu dihapus pada saat Gus Dur menjabat jadi Presiden. Sehingga di KTP hanya nampak WNI atau Asing, tanpa embel-embel lagi.
Seyoganya bangsa kita yang menuju demokrasi lebih baik, selayaknya hal-hal yang tidak perlu, apalagi yang bisa membuka peluang orang berbuat ketidak adilan sosial dalam menentukan kebijaksaan sudah harus ditiadakan. Pemerintah tidak lagi mengatur hak pribadi seseorang dalam menentukan agamanya. Sehingga tidak perlu itu dicatat sebagai identitas seseorang, karena iman percaya itu abstrak tidak bisa terbaca jelas sebagai satu keotentikan bahwa ia seorang 100% meyakini beragama tertentu. Karena bukti tertulis, tidak menjamin iman sesungguhnya.
Lebih banyak pemerintah mengatur tentang agama melalui undang-undang, akan lebih banyak konflik interes dari oknum atau kelompok tertentu , kerukunan akan sulit dipertahankan karena penapsiran bermacam-macam. Konflik agama sejak demokrasi nampak lebih meningkat dibandingkan zaman order Baru, mengapa itu bisa terjadi ? Karena multi tapsir tentang SK tiga menteri serta keturunannya. Sesungguhnya cukup UUD 45, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sudah mengatur dengan baik, mudah dipahami oleh siapapun. Jika itu sudah jelas, kenapa harus disamarkan oleh undang-undang yang bisa ditapsir macam-macam ? Sekiranya Jokowi – JK yang melopori perubahan menuju Indonesia Baru, semua yang mengganjal dan yang bisa membuka peluang untuk berselisih tapsir ditiadakan semua. Supaya kerukunan beragama bisa kembali seperti harapan semangat proklamasi dibawah pimpinan Soekarno – Hatta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H