Lihat ke Halaman Asli

Oh Smartphone

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

---UMAR WIRA ADITAMA---

Chapter 1

Oh smartphone

"Maafkan ayah belum bisa beliin kamu blackberry. Ayah belum punya uang untuk membelinya, karena uang gajian habis untuk bayar cicilan rumah dan utang-utang lainnya" kata-kata itulah yang kerap aku sampaikan kepada istri dibanyak waktu dan kesempatan. "Ayah mengerti bagaimana keinginan bunda akan blackberry. Asal bunda tau, ayah kadang sampai menetaskan air mata, kalau ingat bunda belum pegang blackberry, padahal setiap bulan pendapatan ayah lumayan besar" kataku, jelang tidur di sabtu malam. Dan yang membuat ayah sangat sedih lagi, karena selama ini bunda tak pernah mengeluh merengek ingin blackberry. Alih-alih ingin kayak tetangga, bunda bilang ke ayah kalau bunda cukup punya hp yang bisa nelpon dan sms saja. Istriku tak menimpaliku. Hanya tatapn matanya yang fokus memandangku. Sorot matanya berbinar, yang kemudian aku tafsirkan sebagai bentuk meng-iyakan- perkataanku.

Jam menunjukan pukul 24.00, susana hening. Anak kebanggaan kami, sinar dunia, sudah lelap tidur, sehabis begitu aktif bermain mandi bola di ruangan belakang.

Anak muda yang biasa nongkrong di tembok gorong-gorong halaman komplek ku sudah tak terdengar lagi suara cekikikannya, diselingi nyanyian galau ala boy band itu lenyap entah kemana.

"Wah bun, ayah belum shalat isya, tadi keasyikan main bola sama sinar. Gimana kamu?" Tanyaku. "Oh iya bunda juga belum. lupa euy, kita berjamaah saja, cepat ayah ambil air wudhu dulu sana, "kata istriku.

Selang lima menit, kami shalat jama’ah isya…di kamar tidur yang sempit, di sisi kasur busa yang kami punya. Alhamdulillah, kami khusuk shalat jama’ahnya, mungkin karena suasana sudah hening, sehingga kami lebih fokus bercakap sama Tuhan.

"Bun, maafkan ayah untuk segala dosa yang disadari dan yang tidak dalam hari dan malam ini" pintaku, usai wiridan bersama istri.

"Sama bunda juga minta maaf ya" ucap istriku, sambil mencium tanganku. Sudah jadi kebiasaan, sebelum menganyam bulu mata, kami berebut menghampiri sang jagoan, sinar, untuk menciuminya, dan tentunya, membacakan kalimat suci di ubun ubun dan telinganya.

Tak lupa mengajarkan hidup optimis, penuh spirit ke telinganya. "Sang jagoan ayah bunda, yang ganteng, cerdas, berwibawa, macho, sayang ayah bunda, dan soleh" itulah yang kami bisikan ke telinga sinar saban malam.

Usai mencium sang jagoan, sinar, kami tarik selimut, dan siap menikmati kesempurnaan istirahat, yakni tidur…

Kami tidur diantara sang jagoan, sinar. Jadi selimut itu satu untuk bertiga…

Ada yang menarik, soal style tidur ini. Sinar selalu marah, kalau kami tidur saling menempel, dan ia ada di sisi kami. Dia selalu menaiki tubuh kami, maksudnya mungkin hendak memisahkan kami, dan menyalip di tengah-tengah. Lucu emang, sang jagoan kami ini, sinar, ayah bunda sayang kamu.

Di bawah temaram lampu tidur kami, komat kami seraya berserah kepada Yang Maha, minta dilindungi selama tidur. Saya tak ingat lagi, berapa lama kami terjaga, seterusnya tak ingat lagi..aku tidur. Pulas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline