Jumat malam (19/10) kemarin, saya diajak seorang kawan untuk mengikuti "Ngopi bareng filossof" sebuah forum diskusi santai dilaksanakan disebuah kampus Islam di Jakarta Selatan. Saya mengiyakan karena ada kata "Ngopi". Kami bertiga berangkat gowes.
Sesampai di lokasi dengan terengah-engah. Kami disuguhi kacang dan singkong rebus, dan juga kopi, sayangnya kopi sachet. Agak kecewa.
Satu teman saya adalah lulusan mahasiswa filsafat di kampus ini. Dan satu lagi adalah alumni S2 Filsafat UI. Mereka punya kesamaan dalam dunia filsafat. Lalu saya? hanya teman mereka saja.
"Kenapa menyukai filsafat?" tanya saya.
"Filsafat itu keren, suatu pertanyaan jika dijawab dengan filsafat akan terlihat keren" terang teman saya.
Jawaban itu kurang memuaskan saya.
Saya menceritakan pengalaman bekerja dengan seorang teman alumni filsafat. Bahwa, seringkali waktu terbuang hanya untuk berdiskusi dan muter-muter di ide yang besar. Eksekusi lamban. Stigma itu membekas di kepala saya. Semoga dengan hadir di forum seperti ini menghilangkan stigma itu.
"Mungkin, Filosof tidak tepat bekerja di wilayah teknis" teman saya menimpali.
"oke" ucap saya getir.
Malam itu, acara ramai. Sekitar 200 orang hadir. sebagian besar mahasiswa/i. Tema yang diangkat adalah bagaimana filosof menyikapi bencana terutama gempa bumi yang terjadi belakangan.
Haidar Bagir, yang malam itu hadir menjadi pembicara menuturkan dengan runut, santai, dan penuh cinta. Saya suka pandangan pemikir ini. Karena selalu mengingatkan kacamata "Cinta" dalam melihat segala kejadian.
"Selalu ada hikmah dibalik sebuah bencana. Mungkin, itu salah satu cara tuhan untuk mencintai manusia" dia menyontohkan setelah tsunami di Aceh, muncullah perdamaian RI-GAM.
Haidar bagir, mengingatkan dalam melihat sesuatu termasuk bencana, terserah kita mau memilih perspektif positif atau negatif. Khusnudzon terhadap tuhan atau su'udzon.