KLC News Labuan Bajo, _-Orang-orang ikutan dengan penguasa biasanya memuji atau menyoroti hal positif dari Pemimpin ketimbang negatifnya. Sebaliknya, orang-orang yang berada di luar penguasa melakukan kritik, baik positif maupun negatif. Pertanyaannya: Mengapa ada kritik positifnya bahkan bisa memuji juga? Karena secara tidak langsung pekerjaan Bos penguasa itu ada unsur bonum-nya(baik) untuk umum (commune), disingkat bonum commune. Lalu kritik negatif? Adalah dalam arti melihat adanya tanda-tanda negatif, atau awas-awas terhadap hal negatif yang akan muncul. Itu untuk mengingatkan. Sebab jika hal buruk itu terjadi, maka akan berdampak buruk juga bagi publik yang berada di luar gerbong penguasa itu.
Tetapi memang ada orangg atau gerbong orang di posisi publik di luar gerbong penguasa tadi, melakukan kritik dengan menyoroti hal negatip melulu. Apapun yang dikerjakan penguasa plus pekerja dan orang-orang gerbongnya, semuanya buruk melulu. Bisa kita lihat hal ini di NKRI maupun di negara-negara lain. Di republik ini, maaf, saya sebut nama Bos gerbong di luar penguasa itu adalah opa saya, Bpk.Prof.Dr. Amin Rais. "Opa sayang, saya nonton video-video opa di youtube maupun di media berita online, opa koq mengkritik Presiden Jokowi beserta gerbongnya terkesan tidak ada yg baiknya. Buruk melulu. Bahkan bilang negara ini sudah hancur karena ada semangat PKI". Nah, di Manggarai Barat, apakah ada semangat seperti opa itu yerhadap Bupati Edi Endi dan Wakil Bupati Yulianus Weng? Tunggu dulu.
Dalam kehidupan berbangsa, orang-orang ikutan yang berada dalam gerbong penguasa itu turut sebagai PEKERJA. Pekerja ini mendapat upah dari Bos. Itu sudah umum terjadi dalam kehidupan politik. Tapi kadang orang dalam gerbong ini lupa (walau tidak semua ya, karena di gerbong ini banyak juga negarawan), bahwa Sang Bos itu bekerja untuk kebaikan semua orang. Istilah ilmu hukum/politiknya adalah 'bonum commune'. Di bagian 'semua orang'' ini (baca: rakyat) terdapat orang yang berada di luar gerbong golongan penguasa, apalagi berada di luar para pekerja. Mereka ini tidak mendapat upah dari Bos umum itu secara langsung maupun setengah langsung, tapi dari dunia usaha mereka sendiri. Sepak terjang dunia usaha mereka ini berada dalam sistem bonum commune Negara yang dipimpin Bos itu. Jadi, tidak mutak terpisah 'kan?
Semua apa yang saya omong hawihaol ( bahasa Manggarai, artinya ngalor ngidul bahasa Jawa-nya, campur aduk) adalah berdasarkan ilmu hukum dan politik yang saya dan anda dapatkan, baik dari bangku kuliah maupun autodidak (belajar sendiri). Jadi ini bukan dari Karang Sendiri.
Di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar)
Kebetulan wilayah ini adalah tanah tumpah darah saya. Bukan karena saya pernah berperang dan ada tumpah darah, tapi ini tana kuni agu kalo (tempat lahir) berdarah-darah pada diri saya maupun mama. Darah waktu lahir, partus. Di Mabar ini juga tana kuni agu kalonya Bupati/Wkl, Edi-Weng, ber-darah. Darah bayi itu dicuci pakai air onemai dongge (bambu) yang ditimba ayah dan ibu di sungai. Ini bukan saya dan mereka saja, tapi kita semua yang lahir di tana kuni agu kalo. Ber-darah2. Bayi berdarah, mama berdarah dalam rintihan nyaris mati karena pwtaruh nyawanya. Tapi Tuhan itu baik, walau berdarah-darah, Tuhan menghidupannya hingga kini. Mengapa saya omong begini dibawah judul KRITIK? Berikut ini alasannya.
Pertama, kita harus melakukan kritik sebagai kepedulian kepada Mabar, agar tetap optimis pada tujuan positif, dan hati-hati dengan pesimisme yang cenderung buruk (negatip). Ingat, pemimpin kita bukan orang suci, karena itu PATUT dicurigai ia jatuh dalam kejahatan yang disengaja karena dikiranya baik, atau ada kesengajaan.
Kedua, berdasarkan hal pertama itu, pertanyaannya: siapakah yang tidak berani dan siapakah yang berani melakukan kritik atas kebijakan Bupati/Wkl Edi-Weng? Dari ilmu politik kita tahu bahwa orang-orang ikutan di gerbong Edi-Weng lebih banyak memuji kebijakan mereka daripada mengkritiknya. Bahkan karena sebagai bagian dari 'pekerja', baik ilmuwan atau yang tidak sekolah, turut memuji dan pasang badan terhadap kritik dari luar gerbong. Bahkan ada yang pasang badan dengan kesan membabi-buta.
Tapi ingat, karena posisi pemimpin itu adalah untuk bonum commune, kebaikan semua orang, semisal Bupati/Wkl Edi-Weng, maka Edi-Weng sesungguhnya butuh kritik. Dan kritik itu diharapkan datang dari posisi independen, posisi bebas di luar gerbong, dari publik. Mereka tidak mendapatkan warning itu dari para pekerja 'orang-orang dalam', apalagi dari orang dalam yang mem-babibuta, baik dalam memuji maupun anti kritik.
Ketiga, berdasarkan bagian pertama dan kedua itu, dugaan saya hampir pasti bahwa semua Pemimpin di alam politik demokratis di dunia ini, termasuk Bupati/Wkl Edi-Weng, berterimakasih kepada para kritikus. Dan saya ada buktinya. Ketika saya bertemu Bupati Edi di kantornya, bliau malah mendorong kami untuk tetap pada posisi sebagai kritikus dari ruang independen publik, kritik pada seluruh kebijakannya sebagai Bupati. Nah lo... anda yang berada di gerbongnya yang mem-babibuta terhadap kritik, ternyata anda tidak tidak dianggap di hadapan Bupati kan? Anda kalau tak menyadari ini, berarti anda tetap pada posisi babi-buta. Kacian!
Keempat. Kritik yg benar adalah kritik karena cinta, bukan karena benci. Pembela yang mem-babibuta di dalam gerbong penguasa biasanya buta juga terhadap kritik yang benar, buta terhadap cinta yang berada pada kritikus. Karena itu ia tanggapi kritik dengan benci. Salah! Ditertawakan orang.