Lihat ke Halaman Asli

KKN IAISPurorejo

Mahasiswa IAI Syarifuddin Lumajang

Bahagia Sederhana di Hari ke-Lima

Diperbarui: 20 Oktober 2022   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasca Pembacaan Tahlil (Pict By : M. David Firmansyah)

Hari kelima telah tiba, seperti biasa yang memiliki jadwal masak segera bergegas menuju lokasi dengan membagi tugas ada yang belanja ke pasar, adapula yang menanak nasi di posko putra. Pagi ini masakan matang dan disantap oleh setiap mahasiswa. Seluruh mahasiswa bersiap-siap untuk membantu perangkat desa di balai desa membersihkan halaman dan berbincang-bincang menanyakan instansi yang kami tempati, kegiatan kerja bakti ini selesai tepat pukul 12.01 WIB, kami kembali ke posko masing-masing untuk beristirahat dan membersihkan diri.

Adzan Ashar berkumandang membangunkan jiwa-jiwa yang lelah, yang memiliki jadwal kembali melaksanakan tugas memasaknya, setelah matang kami kembali menyantap masakan dengan dilanjut sholat maghrib di Mushollah dekat posko. Beberapa mahasiswi masih menetap di Mushollah untuk melaksanakan kegiatan membaca yasin Bersama dan dilanjut mengajar santri kecil.

Sedangkan para mahasiswa mengikuti acara pembacaan tahlil yang rutin dilaksanakan di malam jumat, Tahlil rutin setiap malam jumat, RT 2 RW 4. Seperti tahlil pada umumnya, namun yang menjadi istimewa adalah menu hidangan yang disajikan setelah bacaan tahlil dan doa penutup, yang dikeluarkan pertama adalah sesuatu yang mirip dengan telur semut. Ternyata nasi tiwul, sesuatu yang pertama kali saya lihat.

Benar seperti apa yang dikatakan pak Camat Tempursari, nasi tiwul memang enak, apalagi kalau dicampur dengan jangan ikan dan krupuk.

Menurut salah satu pemuda yang ikut tahlil, Mas Bagus (37) Tidak setiap acara keagamaan ada hidangan nasi tiwul, jadi ini adalah kebetulan untuk saya menghadiri tahlilan rutin di sana. Kebahagiaan ternyata sesederhana itu.

Hidangan Nasi Tiwul (Pict By : M. David Firmansyah)

Sebagian dari kami juga bertemu dengan Bapak Abdul Aziz (71) yang menceritakan bahwa penerus kultur keagamaan yang seperti telah jarang ditemui ada beberapa yang wafat dan merantau ke luar negeri dan luar kota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline