Corona Virus Disease 19 (COVID-19) barangkali menjadi krisis terbesar yang terjadi pada generasi kita. Melansir dari laporan real-time Jhons Hopkins University & Medicine, memasuki bulan April 2020 tercatat sudah 181 Negara yang terinfeksi virus yang belum ada vaksinnya ini.
Banyak tindakan darurat yang diterapkan oleh pemerintahan di berbagai negara untuk memutus rantai penyebaran virus Corona, termasuk pemerintah Indonesia. Salah satu kebijakan darurat yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengeluarkan arahan untuk merubah sistem pembelajaran di semua instansi pendidikan. Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dilakukan secara daring dari rumah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Kemajuan teknologi internet disatu sisi telah memudahkan umat manusia untuk berinteraksi tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dalam hal pemakaian internet, menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020", sebanyak 175,4 juta atau hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Dalam situasi ini jelas ada beberapa poin keuntungan ataupun kerugian yang dihasilkan bagi Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.
Namun, ditengah wabah virus Corona ini nyatanya praktik pendidikan di Indonesia tak juga menyenangkan. KBM hanya sekedar dipindahkan dari yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka di kelas nyata, sekarang bertatap muka via gawai di kelas maya dengan jumlah murid yang sama.
Tugas sekolah atau perkuliahan yang sebelumnya diberikan di kelas dan dikumpulkan di meja guru, sekarang dikumpulkan via email atau media sosial sang guru. Uang yang biasanya digunakan untuk ongkos transportasi ke sekolah, sekarang digunakan untuk membeli kuota internet yang lebih besar agar mampu mengikuti pembelajaran daring tanpa 'lemot'.
Namun banyak keluhan-keluhan yang bermunculan. Para mahasiswa mengeluh karena UKT-nya sudah terlanjur dibayarkan penuh tapi tidak dapat menggunakan fasilitas kampus sama sekali selama 1 semester ini. Beberapa diantara mereka menuntut kampusnya untuk merelokasi anggaran fasilitas kampus menjadi subsidi untuk membeli kuota internet. Ada yang disetujui, ada yang ditolak mentah-mentah oleh Rektorat kampusnya.
Kemudian, para guru dan tenaga pendidik honorer juga mengeluh karena gajinya tidak dibayarkan oleh sekolah dengan alasan yang digaji hanya guru tetap yang memberikan pembelajaran daring ke siswa. Sedangkan bagi mereka yang tidak memberikan pembelajaran daring ke siswa tidak digaji.
Belum lagi tidak meratanya infrastruktur seperti listrik, jaringan internet dan kepemilikan gawai di kalangan masyarakat menjadi penghalang untuk melakukan pembelajaran daring hingga ke pelosok negeri. Ketika ini tidak diselesaikan dengan segera maka ketimpangan kualitas pendidikan akan semakin tinggi dan liberalisasi di sektor pendidikan semakin ugal-ugalan. Selain menstimulus sistem pembelajaran daring, penerapan berjenjang ini juga dijadikan alat ukur untuk menghitung plus dan minus dari pembelajaran daring. Momentum ini harus kita rebut agar kemenangan ada di tangan masyarakat umum, bukan di tangan borjuasi.
Penulis :Hajjatul Maria Ulfa. JurusanManajemen Pendidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Peserta KKNDR Kelompok 89, UIN Sumatera Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H